SALAH satu amalan utama yang dicontohkan Rasulullah pada bulan Ramadan adalah i'tikaf atau berdiam diri di dalam masjid, terkhusus pada 10 hari terakhir Ramadan. Saya kira umat Islam sudah sangat mafhum tentang hal ini.
Dalam i'tikaf itu ada proses belajar diam. Maka dipilihlah masjid sebagai tempatnya. Lingkungan masjid penuh dengan nilai spiritualisme. Di jaman now, belajar diam itu sangat penting. Sebab ranah publik sudah penuh dengan polutan informasi berupa fitnah, hoaks, prank, ujub, kesombongan, kebodohan.
Semakin banyak aktif dalam pergulatan informasi di ranah publik, ibaratnya semakin banyak menghirup polutan daripada oksigen. Paru-paru yang terlalu banyak mengonsumsi polutan, residu, lama-lama kotor dan jebol juga.
Trend banjir informasi saat ini menggiring manusia menjadi penonton, bukan pemikir. Sampai-sampai kadang ironis. Itikaf di masjid itu kan disuruh berdzikir dan berpikir. Tapi yang terjadi, i'tikaf justru diisi tiktokan. Cari internet gratis. Untuk nyetatus (bikin status). Di antara salat tarawih bukan baca Allahumma innaka afuwum karim, tapi cek whatsapp, ajuur... ajuur.
Diam yang diniatkan i'tikaf itu bukan sembarang diam. Tapi diam yang penuh makna. Diam, tapi sebenarnya ada pergerakan sangat cepat. Pergerakan transformatif revolusioner dengan memanfaatkan momentum yang singkat untuk menjadi manusia ulul albab.
Siapa ulul albab? Sebagaimana disebutkan di Quran surah Ali Imran 190-191:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ulul albab (orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
Ulul albab adalah orang merajut dirinya dengan selalu dzikir kepada Allah dalam keadaan apapun. Saat duduk, berdiri, berbaring. Setiap denyut jantungnya adalah dzikir. Hembusan nafasnya adalah dzikir. Dan dzikir yang dilakukan secara rahasia adalah dzikir yang utama.
Ulul albab bukan sekadar berakal, tetapi menggunakan daya akal untuk memikirkan segala karya cipta Allah atas alam semesta, termasuk dirinya. Tidak banyak manusia yang memiliki aktivitas pikir demikian. Bahkan jarang memikirkan siapa dirinya, apa tujuan hidupnya di dunia, apa hakikat dunia yang ditempatinya.
Ini sejalan dengan fitrah Islam sebagai agama untuk orang yang berpikir. Islam tidak menghendaki pemeluknya hanya ngglundung semprong (ikut-ikutan) dalam beragama. Dalam bahasa fiqihnya taqlid.
Tingginya apresiasi Islam terhadap olah pikir ini yang menjadi salah satu daya tarik Islam di kalangan orang cerdas, sehingga masuk Islam. Sudah berapa ribu orang cerdas, khususnya dari Barat yang masuk Islam justru ketika berpikir.
Sebab, agama lain justru mengajarkan agar manut saja pada imam atau pemimpin agama. Jangankan bersikap kritis, bahkan bertanya saja tidak boleh. Jawaban khas sang imam adalah “Sudahlah ikuti saya saja, penak-penak”.
Ulul albab memiliki kekuatan spiritual yang dahsyat. Ia menyerahkan olah pikirnya kepada keilmuan dan kerahiman Allah yang tak terbatas. Inilah yang membedakan ilmuwan atau intelektual sekuler dengan intelektual ulul albab.
Intelektual sekuler berpendapat, rasionalitas adalah puncak kebenaran. Inilah yang membuat mereka keblinger. Sedang ulul albab yakin puncak kebenaran adalah kemutlakan Tuhan. Maka ulul albab selalu rendah hati, memuji Tuhan sekaligus memohon dijauhkan dari api neraka.
Astagfirullah. Rabbi a’lam.
*Wartawan senior, tinggal di Sidoarjo
© Copyright 2024, All Rights Reserved