Proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) menelan biaya Rp5,9 triliun yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). KPK mengungkap anggaran itu menjadi bancakan banyak pihak seperti dituangkan dalam surat dakwaan terhadap dua mantan pejabat Kemendagri.
Dalam dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto tersebut, KPK juga menjelaskan alur pembahasan anggaran proyek e-KTP di DPR.
Pada akhir November 2009, Gamawan Fauzi selaku Mendagri mengirimkan surat kepada Menkeu dan Kepala Bappenas nomor 471.13/4210.A/SJ perihal usulan pembiayaan pemberian nomor induk kependudukan (NIK) dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional.
Dalam surat tersebut, Gamawan Fauzi meminta kepada Menkeu dan Kepala Bappenas untuk merubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis NIK yang semula dibiayai dengan menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari anggaran rupiah murni.
Pada awal Februari 2010, Komisi II DPR menggelar rapat pembahasan anggaran Kemendagri. Kemudian, pada periode Februari-April 2010, Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu mengadakan pertemuan dengan Irman selaku Dirjen Dukcapil dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Dalam pertemuan tersebut, terdakwa I (Irman) dan Andi Narogong meminta kepastian kesiapan untuk proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional. Atas pertanyaan tersebut, Setya Novanto mengatakan bahwa ia akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya," ucap jaksa KPK.
Pada kurun waktu Juli-Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan RAPBN tahun anggaran 2011. Dalam pembahasan RAPBN itu, anggaran proyek e-KTP juga dibahas.
Saat itu, Andi Narogong semakin intens bertemu Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan M Nazaruddin. Keempatnya lalu menyepakati proyek e-KTP sebesar Rp5,9 triliun, dimana anggaran ril untuk proyek hanya Rp2,6 triliun sedangkan sisanya menjadi bancakan.
Selanjutnya, Oktober 2010, pembentukan grand design anggaran untuk proyek e-KTP senilai Rp5.952.083.009.000 dengan sistem multiyears dengan rincian yaitu tahun 2011 senilai Rp2.291.428.220.000 dan tahun 2012 senilai Rp3.660.654.789.000.
Pada tanggal 22 November 2010 melalui mekanisme rapat kerja dengan Kemendagri yang diwakili oleh Gamawan Fauzi, terdakwa I (Irman), dan Diah Anggraini, Komisi II DPR memberikan persetujuan anggaran terhadap pelaksanaan proyek pengadaan dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional untuk tahun 2011 sejumlah Rp2.468.020.000.000.
Pada 21 Desember 2010, Gamawan Fauzi mengirimkan surat izin pelaksanaan proyek e-KTP menggunakan metode multiyears ditolak Menkeu Agus Martowardojo. Penolakan itu terjadi 2 kali yaitu pada 21 Desember 2010 dan sebelumnya pada 26 Oktober 2010 dan 13 Desember 2010.
Pada 17 Februari 2011, Dirjen Anggaran Herry Purnomo memberi izin Kemendagri untuk mengggunakan metode multiyears di proyek e-KTP. Setelah itu, pada 21 Juni 2011, Gamawan menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 5.841.896.144.993 dengan jangka waktu kontrak sampai 31 Oktober 2012.
Sampai dengan Maret 2012, Konsorsium PNRI belum dapat menyelesaikan target pekerjaannya yakni belum merealisasikan pekerjaan pengadaan blangko KTP Elektronik sebanyak 65.340.367 keping dengan nilai Rp1.045.445.868.749.
Pada tanggal 9 Maret 2012, Gamawan Fauzi mengajukan usulan penambahan anggaran dalam APBN-P 2012 kepada Menteri Keuangan. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan rapat pembahasan antara Kemendagri dengan Komisi II DPR.
Pada 27 Juni 2012, Gamawan Fauzi melakukan rapat kerja dengan Komisi II DPR dan sepakat tambahan anggaran Rp 1.045.445.868.749 ditampung dalam APBN 2013.
Lalu pada 5 Desember 2012, penerbitan dan pengesahan DIPA, DPR menyetujui APBN 2013 untuk tambahan anggaran Rp1.492.624.798.000. Anggaran itu terdiri dari permintaan Gamawan Fauzi sebesar Rp 1.045.000.000.000 dan sisanya Rp 447.624.798.000 adalah anggaran untuk kelanjutan penerapan e-KTP secara reguler tahun 2013.
© Copyright 2024, All Rights Reserved