Rencana pembangunan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) yang digagas sejak tahun 2014, kini memasuki babak baru. Setelah tahun lalu menyelesaikan Basic Engineering Design (BED), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) kini mulai menyusun Desain Rinci atau Detail Engineering Design (DED).
DED diharapkan dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang sesegera mungkin, sehingga dapat di review oleh Badan Tenaga Atom Internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA).
Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan RDE merupakan program prioritas Batan yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai penyedia teknologi, terkait penyediaan energi listrik dan panas tinggi untuk menopang kebutuhan industri nasional.
Apalagi, negara Indonesia kekurangan listrik dan banyak industri yang membutuhkan energi panas. Karena sifatnya yang eksperimental, maka pengoperasian reaktor nuklir tersebut lebih banyak untuk tujuan percobaan dalam meningkatkan penguasaan teknologi.
Ia bercerita, pembangunan RDE digagas sejak tahun 2014. Ide itu bermula dari obrolan kecil tentang keinginan membuat pembangkit listrik dengan kapasitas 3 sampai 5 megawatt. Pembicaraan ini kemudian berkembang menjadi lebih serius dan dibahas di tingkat menteri dan lintas kementerian.”Pertemuian 3 menteri untuk membahas RDE tersebut akhirnya tertuang dalam RPJMN," kata Djarot kepada politikindonesia.com di Tangerang Selatan, Kamis (08/03).
Menurutnya, pada tahun 2015, pihaknya telah melaksanakan pra proyek RDE. Batan bekerjasama dengan konsultan Renuko yang merupakan gabungan konsultan dalam dan luar negeri. Pada pra proyek ini menghasilkan dokumen penting, yakni desain konseptual dan draft Laporan Analisis Keselamatan (LAK). Desain konseptual tersebut dijadikan sebagai dasar penyusunan BED.
Pada tahun 2017, Batan mendapatkan izin tapak dari Badan Pengawasan Tenaga Nuklir (Bapeten) untuk pembangunan RDE berkapasitas 10 megawatt thermal setara 3,3 megawatt, di kompleks Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan.
“Setelah itu, kita melangkah lebih lanjut, untuk peroleh izin konstruksi dan izin komisioning. Untuk selanjutnya, kami akan berusaha memperoleh persetujuan desain RDE. Karena pada tahap ini, diperlukan dokumen DED dan LAK,” paparnya.
Selanjutnya, pada tahun 2018, tambah Djarot, pihaknya menyusun DED dengan melibatkan sebuah konsorsium yang terdiri dari beberapa institusi perguruan tinggi dan pihak swasta. DED menjadi sebuah tahapan yang harus disiapkan dan disusun secara detail dengan mempertimbangkan aspek keselamatan untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan pada reaktor.
“DED yang merupakan karya anak bangsa ini akan dijadikan cikal bakal Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN),” ujar dia.
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Ristekdikti memberikan dukungan penuh terhadap program DED melalui program Flagship INSINAS. Diharapkan program ini bisa dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memperluas dan memperkuat sinergi antar intitusi secara nasional dalam menyelesaikan DED,” ungkapnya.
Dijelaskan, karena isu pembangunan RDE sensitif, maka pelaksanaan pembangunannya harus hati-hati. Bersamaan dengan penyelesaian proses perizinan, pihaknya bekerjasama dengan 3 kementerian terkait untuk menyiapkan blue book. Jika selesai akan dilanjutkan menggodok green book, supaya proyek pembangunan ini bisa ditawarkan ke investor. Karena sejauh ini, pihak Rusia dan China cukup proaktif menawarkan soft loan untuk pembangunan RDE tersebut.
“Namun, kedua negara tersebut merasa keberatan dengan sistem bidding dari Pemerintah Indonesia yang menjadi persyaratan untuk bisa ikut menjalankan proyek tersebut. Apalagi diperkirakan biaya pembangunan RDE yang sangat mahal, sekitar Rp4,3 triliun. Sehingga mendorong kami untuk berupaya membuat sendiri sebagian besar komponen pembangunan RDE agar biaya menjadi lebih murah, sekitar Rp2,2 triliun,” ulasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir (PTKRN) Batan, Geni Rina Sunaryo menambahkan DED akan diselesaikan dalam kurun waktu yang singkat dan segera di review oleh IAEA. Selesai direview dan dilakukan perbaikan sesuai dengan rekomendasi yang diberikan IAEA. Diharapkan, DED bisa rampung pada awal September 2018, dan akan diluncurkan pada Sidang Umum IAEA di Wina, Austria.
“Kami ingin agar Indonesia tidak bergantung pada teknologi nuklir yang sudah ada, namun bisa menciptakan sendiri teknologi nuklir yang kita butuhkan sesuai dengan kondisi Indonesia. Ini bisa menjadi cita-cita kita untuk tidak hanya menerima tapi juga bisa memberikan teknologi ke dunia, menjadi technology provider untuk teknologi nuklir,” ucapnya.
Menurutnya, dengan menguasai teknologi pembuatan RDE, Indonesia akan mempunyai acuan design pembangkit listrik dan pembangkit panas untuk industri yang memiliki banyak manfaat. Di antaranya untuk desalinasi air laut, produksi gas hidrogen, pelelehan batu bara, smelter, oil recovery dan lain-lain yang membutuhkan panas yang tinggi.
“Tim yang bekerja menyusun DED harus bekerja keras untuk mencapai target yang telah ditetapkan, yakni pada bulan Juni 2018 harus sudah jadi revisi nol dan akan di review oleh IAEA. Menyatukan para peneliti dalam satu tim penyusun dokumen DED memiliki tantangan tersendiri dan membutuhkan usaha yang keras. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan adanya tujuan yang jelas dan tim yang terpadu dalam semangat Batan incorporated,” tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved