AIRLANGGA Hartarto resmi mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Sejumlah kader Golkar punya peluang untuk menggantikan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum DPP Golkar. Sebut saja Bahlil Lahadalia, Agus Gumiwang Kartasasmita, Ahmad Dolly Kurnia Tanjung, Bambang Soesatyo, Ridwan Hisyam, Erwin Aksa, dan lain-lain.
Penyebab Airlangga Hartarto mundur diduga karena tekanan sejumlah kasus hukum yang menjeratnya. Namun yang paling menonjol adalah kasus ekspor minyak sawit mentah. Kasus ini menempatkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, sebagai tersangka.
Indrasari dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 7 tahun penjara. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara. Namun Mahkamah Agung mengoreksi putusan PN Jakarta Pusat menjadi 5 tahun penjara dipotong masa penahanan.
Saat Airlangga Hartarto mengumumkan mundur dari jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar Sabtu kemarin, publik terhentak. Banyak juga yang terkaget-kaget. Namun tidak sedikit juga yang bertanya-tanya, apa yang menjadi sebab-musabab Airlangga Hartarto mengundurkan diri?
Sebagian ada yang menduga-duga kalau Airlangga Hartarto mundur karena tekanan yang sangat kuat dan keras dari Istana Negara. Penguasa Istana marah besar kepada Airlangga Hartarto. Penyebabnya adalah Partai Golkar tidak mau mencalonkan Kaesang Pangarep sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Ridwan Kamil.
Diduga kalau Airlangga tidak mundur dari Ketua Umum DPP Partai Golkar, maka statusnya akan berubah menjadi tersangka. Bahkan kemungkinan bisa langsung ditahan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung Cabang Salemba. Untuk itu, Airlangga cepat-cepat membuat langkah penyelamatan, dengan mengundurkan diri.
Untuk menggantikan Airlangga, Istana Negara diperkirakan mendorong Bahlil Lahadalia dan Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar. Sayangnya, dua kader Golkar ini diduga memiliki permasalahan yang hampir yang sama seperti Airlangga. Diduga beban skandal hukum ini setiap saat dipakai untuk menyandera Bahlil dan Agus Gumiwang.
Bahlil dilaporkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (Kompak) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan tindak pidana korupsi keputusan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Jatam juga melaporkan Bahlil terkait Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit dari 2021-2023 (Tempo.co, Selasa 19 Maret 2024).
Bukan hanya Jatam, Kompak juga melaporkan Bahlil ke KPK terkait tindak pidana korupsi suap IUP tambang (Tempo.co Senin 25 Maret 2024). Namun sampai sekarang KPK belum juga menanggapi laporan dari Jatam dan Kompak.
Beban yang dipikul Agus Gumiwang adalah skandal mantan Menteri Pertambangan dan Energi Ginanjar Kartasasmita terkait izin PT. Freeport Indonesia. Ketika itu Ginanjar sebagai Menteri Pertambangan dan Energi memperpanjang izin usaha PT. Freeport yang belum berakhir atau jatuh tempo.
Diduga telah terjadi hengky-pengky antara Ginanjar Kartasasmita dengan Freeport terkait terbitnya perpanjangan izin baru. Agus Gumiwang akan menjadi beban residu masa lalu untuk Partai Golkar ke depan. Akhirnya Partai Golkar tidak bisa leluasa seperti sekarang. Partai Golkar akan menjadi barang sanderaan yang tiada akhir.
Publik tentu saja tidak bisa melupakan manuver Ginanjar Kartasasmita yang memimpin 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII untuk berkhianat kepada Presiden Soeharto. Menusuk Pak Harto yang membesarkannya dari nol.
Pengkhianatan 14 Menteri ini terkenal dengan nama “Deklarasi Bappenas”. Ketika itu Ginanjar Kartasasmita menjabat Menteri Koordinator Perekonomian dan Ketua Bappenas.
Andaikan Bahlil Lahadalia atau Agus Gumiwang Kartasasmita yang nanti menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, maka nasib Golkar ke depan tidak beda jauh dengan saat dipimpin oleh Airlangga Hartarto. Untuk itu, Partai Golkar jangan sampai dipimpin oleh kader yang berpotensi bermasalah dengan skandal korupsi.
*Penulis adalah Wartawan Senior FNN
© Copyright 2024, All Rights Reserved