Masa Sidang IV Tahun 2012-2013 resmi dibuka 13 Mei 2013 lalu. Terkait fungsi legislasi, bobot pembahasan rancangan undang-undang (RUU) di masa sidang sekarang akan semakin berat. Kondisi ini terjadi karena 3 alasan. Pertama, banyaknya RUU luncuran dari masa sidang sebelumnya, kedua, ada beberapa RUU memiliki ruang lingkup substansi yang sangat luas, dan ketiga, adanya pembahasan yang berlarut-larut karena perbedaan pendapat yang mendasar antara Pemerintah dan DPR.
Pembentukan lembaga baru adalah salah satu contoh yang paling sering diperdebatkan dan berulangkali menghambat penyelesaian pembahasan suatu RUU. Polanya, DPR yang mengusulkan pembentukan lembaga baru karena alasan independensi.
Sedangkan Pemerintah sudah siap dengan penolakan karena alasan efisiensi anggaran dan efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga bersangkutan yang akan berhimpitan dengan tugas dan fungsi suatu kementerian. Contoh RUU yang terjebak dalam perdebatan semacam itu antara lain RUU Aparatur Sipil Negara, RUU Ibadah Haji, dan RUU Jaminan Produk Halal.
Beratnya bobot pelaksanaan fungsi legislasi membuat laju DPR di Masa Sidang IV Tahun 2012-2013 diprediksi akan terus melambat. Selain berkaitan dengan tugas pemilihan pejabat publik, pengawasan, dan anggaran, anggota DPR masih harus berbagi perhatian dengan persiapan menjelang Pemilu 2014. Saat ini sekitar 90,5 persen anggota DPR dicalonkan kembali oleh partainya untuk menjadi calon anggota legislatif 2014-2019.
Menghadapi kondisi seperti ini jelas tidak bisa dengan upaya biasa saja. Harus ada serangkaian terobosan mengantisipasi bobot legislasi yang semakin berat. Ada tiga opsi yang bisa dikedepankan, yaitu:
Solusi Pertama: Melakukan Penarikan RUU. Pasal 141 Tata Tertib mengatur durasi pembahasan suatu RUU dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) kali masa sidang dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) kali masa sidang. Namun pembatasan waktu pembahasan tersebut tidak efektif, karena dalam Tata Tertib DPR tidak mencantumkan konsekuensi apabila melebihi total 3 kali masa sidang. Walhasil, saat ini mudah untuk menemukan RUU-RUU yang dibahas melebihi 3 kali masa sidang.
Konsekuensi dari Pasal 141 baru diatur dalam Peraturan DPR RI No. 3 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penarikan RUU. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa RUU dapat dilakukan penarikan dalam tahap penyusunan dan pembahasan. Sedangkan Pasal 4 mengatur perihal alasan penarikan RUU, yang salah satunya adalah melampaui batas waktu pembahasan setelah diberi waktu perpanjangan.
Peraturan DPR itu juga memberikan landasan untuk penarikan suatu RUU yang sedang dalam proses pembahasan pada pembicaraan tingkat I. Salah satu RUU yang kontroversial dan mendapat penolakan keras dari publik dan bahkan dari berbagai pemangku kepentingan kunci adalah RUU Ormas yang juga sudah melampaui masa pembahasan dan waktu perpanjangan (sudah dibahas selama 1,5 tahun). Beberapa RUU lain yang telah melampaui batas waktu pembahasan adalah RUU Pendidikan Kedokteran dan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (judul diganti menjadi RUU Pencegahan Perusakan Hutan).
Solusi kedua: memperbaiki mekanisme pembahasan RUU. Pembahasan RUU saat ini tidak jarang terjebak dalam wilayah teknis, seperti penggunaan titik dan koma dalam suatu kalimat di pasal. Hal itu juga dampak dari penggunaan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai alat pembahasan, sehingga metode pembahasan pasal per pasal tidak dapat dihindarkan. Seharusnya anggota DPR bisa lebih fokus untuk membahas berdasarkan kluster atau pengelompokkan isu dan lebih khusus lagi mengenai pilihan-pilihan atau keputusan politik yang akan dicantumkan dalam RUU tersebut. Perumusan teknis kalimat akan lebih efektif apabila diserahkan kepada tenaga perancang.
Solusi Ketiga: Mengubah Pembahasan RUU dari perubahan seluruhnya (UU baru) menjadi hanya revisi (UU perubahan). Adanya keterbatasan waktu dan materi muatan RUU yang sangat luas membuat DPR harus tepat dalam menentukan, apakah revisi terhadap RUU dilakukan seluruhnya atau cukup sebagian saja (contohnya RUU KUHP dan RUU KUHAP). Penentuan strategi itu sebenarnya harus dilakukan pada tahap perencanaan, sehingga beban pembahasan dari suatu RUU sudah bisa diukur.
Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK
© Copyright 2024, All Rights Reserved