Pemerintah akan memasukkan syarat tambahan bagi para calon kepala daerah dalam Pilkada. Yaitu, larangan cacat moral bagi calon kepala daerah yang akan ditambahkan dalam revisi UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Cacat moral yang dimaksud Menteri Dalam Negeri Gamawan salah satunya adalah dikenal tidak pernah berbuat mesum atau berzina. "Orang yang dikenal pernah berzina tidak boleh jadi bupati," kata Mendagri.
Namun, rencana itu kini menuai kontroversi. Bahkan, ada yang menyebut bahwa penambahan klausul itu dinilai bisa melanggar hak asasi manusia (HAM). "Saya khawatirkan melanggar HAM karena semua orang bebas berekspresi," kata Wakil Ketua Komnas HAM Nurkholis di Jakarta, Sabtu (17/04).
Menurut Nurkholis, aturan hukum seharusnya tidak boleh membatasi hak-hak warga negara di wilayah privat. "Contohnya di Amerika Serikat (AS), kalau orang mencalonkan, semua kehidupan privatnya diungkap, tapi itu tidak masuk ke wilayah UU," katanya.
Pemerintah, kata Nurkholis, seharusnya tidak perlu repot-repot menambahkan klausul larangan cacat moral bagi calon kepala daerah. Biarkan saja, rakyat yang menilai, calon itu layak atau tidak. "UU jangan sampai terlalu membatasi, jalan keluarnya biarkan jadikan kontrol publik. Suka ya dia pilih, kalau tidak suka ya tidak pilih," kata Nurkholis.
Nurkholis menambahkan, rakyat sudah dapat memilih pemimpin mana yang diinginkannya. Jika calon tersebut dirasa tidak layak dipilih, tentu tidak akan menang sebagai pemimpin daerah. "Saya pikir itu dijadikan pertimbangan pembuat kebijakan," kata Nurkholis.
Tak hanya itu, para tokoh perempuan pun angkat bicara. Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, misalnya. Menurut dia, klausul syarat larangan cacat moral bagi calon kepala daerah dinilai tidak tepat. Sebab setiap orang, meski pernah melakukan kesalah sekalipun, tetap harus dijamin hak politiknya. Dia pun bertanya, apakah seseorang sekali melakukan kesalahan, seumur hidup hak politiknya habis?
Yuniyanti mengatakan, jika karena satu kesalahan seseorang bisa kehilangan hak politiknya, hal itu tak ada bedanya dengan orang yang dicap terlibat kasus 1965.
Sementara itu, pengamat gender Jaleswari Pramodhawardani justru mempertanyakan apa definisi moral itu. Sebab, katanya, moralitas adalah wilayah pribadi yang abstrak dan sebenarnya tidak perlu ditarik ke ranah publik, seperti syarat pencalonan kepala daerah. "Kalaupun ada aturan soal moralitas harus terukur, seperti tidak pernah korupsi. Jika tidak cacat moral, itu terlalu absurd," kata dia.
Bagi Jaleswari, kebebasan perempuan dalam ranah politik di Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi. Sebagai contoh, kuota 30 persen perempuan dalam parlemen masih diadopsi setengah hati oleh partai politik.
Sedangkan yang ‘pro’, diantaranya anggota Komisi II dari FPKS Mahfudz Siddiq. Menurut dia, semua gagasan yang dimaksudkan untuk memperkuat integritas moral adalah hal yang positif. Termasuk salah satunya klausul syarat larangan bagi pezina untuk mencalonkan diri dalam Pilkada. "Gagasan-gagasan untuk memperkuat integritas moral, itu hal yang positif sepanjang dituangkan dalam undang-undang. Tidak dituangkan dalam peraturan di bawah undang-undang," kata Mahfudz.
Namun demikian, lanjut Mahfudz, menuangkan gagasan moral dalam UU bukanlah persoalan yang sederhana. "Harus punya indikator yang baik agar tidak multitafsir," kata mantan Ketua Fraksi PKS DPR ini.
Mahfudz mengatakan, pembahasan aturan tersebut dalam revisi UU 32/2004 membutuhkan waktu yang panjang. Ia menduga pembahasan aturan itu tidak bisa mengejar pelaksanaan Pilkada Sidoarjo dan Pacitan yang bakal diikuti Maria Eva dan Julia Perez.
Direktur Eksekutif Cetro Hadar Nafis Gumay menambahkan, klausul syarat tidak pernah berbuat mesum atau berzina bagi calon kepala daerah dinilai penting dimasukkan dalam UU. Meski begitu, syarat cacat moral tersebut harus bisa diukur dan dilaksanakan. "Itu syarat yang penting. Kita juga tidak mau mempunyai pemimpin daerah yang cacat moral. Tetapi harus dipastikan bagaimana mengukur hal itu. Jangan menaruh kriteria yang sulit untuk mengukurnya," kata dia.
Menurut Gumay, syarat mengenai cacat moral perlu diatur dalam UU. "Itu dimasukkan di tingkat UU. Tidak bisa dimasukkan ke peraturan menteri, KPU, sebab itu norma baru. Jadi jangan di level bawah yang mudah dibatalkan," ujar Hadar.
Hadar mengatakan, penetapan calon kepala daerah harus dilakukan secara transparan, partisipatif dan demokratis. "Jadi buka prosedur penetapan calon bupati. Calon itu diumumkan secara terbuka, masyarakat diberi kesempatan memberi masukan. Jadi harus ada ruang dan pengaturannya. Ruang partisipatif dibuka, dan dibuat semudah mungkin," tukas dia lagi.
Bukan Untuk Menjegal
Gamawan membantah aturan ini untuk menjegal Maria Eva dan Julia Perez dalam Pilkada Sidoarjo dan Pacitan. Mendagri menegaskan, kententuan tersebut sebenarnya sudah tercantum di dalam persyaratan bagi pasangan bakal calon kepala daerah. Tetapi karena terkendala unsur bukti fisik, seringkali KPU terlambat membuat keputusan padahal sejak awal mereka bisa membatalkan keikutsertaan si pasangan calon dalam kompetisi. "Saya dengar dulu ada kasusnya , sebenarnya itu tidak boleh. Foto porno itu juga cacat moral," tegas Gamawan.
Berangkat dari kasus tersebut, maka pemerintah akan menegaskan kembali persyaratan mengenai cacat moral. Penegasan dicantumkan dalam draf revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedang pemerintah matangkan. "Juni nanti Insya Allah bisa kita ajukan ke DPR," ungkap Gamawan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved