TERUS terang, saya suka dengan istilah "upsysteming" yang disampaikan oleh Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi di dalam satu sesi seminar beberapa waktu lalu. Istilah yang pada intinya penting menekankan pada perlunya perubahan sistem, bukan hanya bicara soal strategi atau cara. Apalagi teknikal program
Upsysteming yang dia sampaikan adalah untuk mengoposisi atau mengkritik istilah upskilling (peningkatan keterampilan). Menurutnya, istilah peningkatan keterampilan itu seakan menganggap ada yang salah dengan masyarakat. Padahal menurutnya yang dibutuhkan itu adalah bagaimana membuat perubahan sistem yang membebaskan dan memampukan setiap orang untuk berkembang keterampilan hidupnya.
Istilah upsysteming ini sebaiknya berlaku untuk berbagai hal di Indonesia. Termasuk misalnya di bidang ekonomi. Harus ada perubahan, proses transformasi besar jika ingin mengharapkan hasil yang berbeda. Hukumnya tidak mungkin kita berharap hasil yang berbeda jika sistem ekonomi yang kita terapkan selama ini tetap sama.
Upsysteming yang dia sampaikan adalah untuk mengoposisi atau mengkritik istilah upskilling (peningkatan keterampilan). Menurutnya, istilah peningkatan keterampilan itu seakan menganggap ada yang salah dengan masyarakat. Padahal menurutnya yang dibutuhkan itu adalah bagaimana membuat perubahan sistem yang membebaskan dan memampukan setiap orang untuk berkembang keterampilan hidupnya.
Istilah upsysteming ini sebaiknya berlaku untuk berbagai hal di Indonesia. Termasuk misalnya di bidang ekonomi. Harus ada perubahan, proses transformasi besar jika ingin mengharapkan hasil yang berbeda. Hukumnya tidak mungkin kita berharap hasil yang berbeda jika sistem ekonomi yang kita terapkan selama ini tetap sama.
Selama sepuluh tahun terakhir, berdasarkan laporan dan data terakhir tahun 2021 World Data Book-Suisse Credit Institute, struktur kepemilikan kekayaan orang di Indonesia dalam posisi stagnan. Artinya, jumlah kaum miskin dan kaum kaya tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan, dalam kelompok orang superkaya selama sepuluh tahun itu jumlahnya tetap sama. Jika dibandingkan dengan rata-rata dunia, kondisi Indonesia tertinggal jauh. Orang kayanya sangat sedikit, sedangkan orang miskin sangat banyak dan membentuk pola piramida yang sangat runcing ke atas (Suroto, Tempo.co, 2023, Suroto dalam Prisma, 2023).
Jumlah penduduk dewasa Indonesia tahun 2021 sebanyak 183,7 juta jiwa atau 67,38 persen dari penduduk. Rata rata kekayaan orang dewasa Indonesia pada tahun itu sebesar 15.535 dolar AS atau setara 222,3 juta rupiah. Sementara itu, rata rata dunia sebesar 87.489 dolar AS setara 1.257 miliar rupiah (dihitung dengan kurs tengah tahun 2021 sebesar 14.311 rupiah setara 1 dolar AS). Angkanya hanya 17,6 persen dari rerata dunia. Angka mediannya sebesar 3.457 dolar AS atau 49,4 juta rupiah per orang. Sementara itu, rerata dunia sebesar 8.360 dolar AS atau 119,6 juta rupiah per orang. Kelompok miskin dengan kekayaan di bawah 10.000 dolar AS atau di bawah 143,1 juta rupiah sebanyak 75,1 persen. Rerata dunia hanya 53,2 persen. Mereka yang termasuk dalam kelompok menengah atau memiliki kekayaan di atas 10.000-100.000 dolar AS atau rentang 143,1 juta-1,43 miliar rupiah berjumlah 22,9 persen. Sementara itu, rerata dunia sebesar 33,8 persen.
Yang cukup fantastis adalah pada kelompok kaya atau mereka yang memiliki kekayaan di atas 100.000-1 juta dolar AS atau 1,43-14,3 miliar rupiah. Di Indonesia angkanya hanya 1,9 persen, sedangkan rerata dunia sebesar 11,8 persen. Sementara itu, dibanding rata rata dunia yang sebesar 1,2 persen, kelompok superkaya atau mereka yang kekayaannya di atas 14,3 miliar rupiah hanya 0,1 persen.
Bila dilihat dari angka-angka tersebut, kelompok miskin kita dapat dikatakan tidak mengalami kenaikan kelas. Demikian pula dari kelompok menengah ke kaya serta dari kelompok kaya ke superkaya. Kondisi ketimpangan asimetris dan berjangka panjang itu juga menandakan bahwa sebab-sebab kemiskinan itu bersifat struktural. Karena itu, harus dilakukan perombakan sistem secara fundamental tidak cukup hanya dengan program-program karitatif dan tambal sulam.
Kemiskinan struktural itu terjadi karena rakyat miskin tidak memiliki peluang dan instrumen untuk mengkreasi kekayaan. Pada akhirnya, mereka hanya mewariskan kemiskinan baru. Harus ada rekayasa sistem kelembagaan agar memungkinkan setiap orang berpartisipasi ekonomi secara demokratis dalam mewujudkan ekonomi berkeadilan secara inheren dalam sistem kerjanya, bukan justru dibina dalam konteks pelestarian kekeliruan kebijakan pembangunan.
Ganti Sistem
Istilah upscaling atau peningkatan skala usaha dari level usaha mikro dan kecil agar menjadi kelas menengah seperti yang sering didengungkan Pemerintah selama ini menurut saya juga salah besar. Sebab mereka menjadi gurem, lemah itu juga bukan karena ada masalah dengan keterampilan usaha di masyarakat, tapi karena sistemlah yang membuat mereka menjadi demikian.
Kebetulan beberapa hari lalu saya diajak untuk diskusi tapping di TVRI dengan judul "Leveling Up business". Istilah yang sebetulnya mirip dengan istilah "Upskilling" yang dikritik Wamen Stella. Acara yang katanya akan segera tayang di TVRI dalam acara yang dinamakan Warung Pengkolan, dengan host keren Anya Dwinov dan Komika Akbar.
Bicara tentang leveling up (peningkatan level skala usaha) untuk usaha mikro dan kecil kita itu menurut saya juga tidak benar. Hal penting yang dibutuhkan juga di dalam kehidupan bisnis itu untuk kasus Indonesia adalah perubahan sistem. Bagaimana agar sistem bisnis yang ada itu membebaskan dan memampukan untuk setiap pelaku usaha, setiap orang itu berkembang dan tidak ada monopoli atau bahkan privilege atau keistimewaan perlakuan yang diberikan ke kelompok konglomerat atau elite kaya oleh pemerintah.
Hingga kini, susunan pelaku ekonomi Indonesia dari sejak jaman kolonial tetap sama. Diisi oleh usaha mikro kecil kelas gurem yang hidup segan mati sungkan lebih banyak dengan bagian kue ekonomi sedikit dan segelintir pelaku usaha menengah dan besar dengan bagian kue ekonomi yang dominan.
Menurut klasmopologi pelaku usaha dari Kementerian Koperasi dan UKM terbaru (2023), 99,6 persen atau kurang lebih 64 juta orang pelaku ekonomi di negeri ini hidupnya bergantung pada usaha skala mikro kelas gurem dan usaha kecil. Usaha kecil sebanyak 138.000 atau 0,35 persen, sedangkan usaha menengah sebesar 80.245 atau 0,05 persen dan usaha besar sebanyak 5.600 atau 0,0006 persen dari total pelaku usaha. Dalam perhitungan lebih perinci, kontribusi ekonomi dari 99,9 persen usaha mikro dan kecil hanya “menguasai” kue ekonomi kurang lebih 18 persen. Sisanya atau 82 persen dikuasai usaha besar dan usaha menengah, yang juga merupakan kepanjangan dari usaha besar.
Kondisi tersebut langsung jadikan penyebab selimut kemiskinan juga tidak segera mengalami perubahan. Bagaimana mungkin berubah? karena secara sistem memang sengaja dibuat untuk tidak berubah. Mereka tidak memiliki pilihan, sistem yang ada tidak memungkinkan untuk mengubah nasib hidup mereka.
Aktivitas untuk menscaling up atau meningkatkan skala usaha mereka bahkan hanya dinikmati oleh para makelar proyek dan program dalam program bimbingan teknis, pembinaan dan pemberdayaan hingga dalam bentuk subsidi kredit program, subsidi alat, dan lain lain. Mereka para makelarlah yang diuntungkan dan tidak sampai ke sasaran.
Dalam konteks ini, yang salah sebetulnya bukan hanya strategi. Bahkan bukan juga sistemnya, namun sudah salah teori. Tidak mungkin orang akan bebas dan memiliki kemampuan untuk meningkatkan usaha mereka jika sistem yang ada ini dikembangkan dengan basis teori ekonomi pertumbuhan yang abaikan sistem keadilan bagi semua.
Bagaimana cara merombak sistemnya? Sebetulnya Konstitusi kita sudah memerintahkannya, agar perekonomian itu disusun, bukan tersusun dengan sendirinya. Bagaimana menyusunya adalah gunakan sistem demokrasi ekonomi, yaitu suatu sistem yang membebaskan dan berikan kesempatan untuk rakyat banyak berperan aktif dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi di dalam sistem ekonomi.
Beberapa program perubahan sistem ekonomi itu misalnya dengan dilakukan pembagian saham Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/BUMD) agar rakyat turut menikmati dan mengontrol langsung perusahaan plat merah yang selama ini hanya jadi bancaan kelas elit politik dan elit kaya, dilakukan pembagian sebagian saham perusahaan kepada buruh (Employee Share Ownership Program/ESOP), pembatasan rasio gaji tertinggi dan terendah karena rasionya sudah keterlaluan antara level direktur dengan jabatan terendah di semua instansi/perusahaan, dan dikembangkanya model kepemilikan perusahaan yang melibatkan kepemilikan saham oleh bahkan konsumennya, reforma agraria bagi para petani dan rakyat miskin kota, dan lain sebagainya.
Perubahan sistem ekonomi yang jadikan rakyat berdaulat atau berkuasa dan menjadi subyek atas negara ini sangat penting. Program karitatif dan mendikte bagi orang miskin yang dilakukan dengan praktik sistem kapitalisme dan ekonomi neo klasik selama ini harus diganti total. Harus ada upsysteming seperti yang disampaikan Wamen Stella. Bravo Stella!
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)
© Copyright 2024, All Rights Reserved