Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berdalih hal itu dilakukan demi menjalankan undang-undang.menyatakan Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% (sebelumnya 11%) yang berlaku efektif pada 1 Januari 2025.
Ada pun PPN adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak. PPN bersifat tidak langsung. Hal itu diatur berdasarkan UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, mengatakan, kebijakan kenaikan PPN 12% itu akan memberatkan rakyat di tengah kondisi ekonomi yang tak pasti saat ini.
“Walaupun berdasarkan UU, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus menjelaskan kerangka rasional atau logical framework alasan kenaikan PPN ini selain kepatuhan dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan berlaku,” kata Deviyan Cory, Senin (18/11/2024).
Menurut Deviyan, di tengah pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan di angka 4%-5% dan deflasi selama 4 bulan lebih sebesar 0,03%-0,08%, pelaksanaan kebijakan ini sangat berbahaya.
“Justru dengan memaksakan penerapan UU ini tindakan kerusakan moral atau moral hazard luar biasa, apalagi Menkeu juga representasi kelompok wanita dan ibu rumah tangga yang (semestinya) lebih mengedepankan hati nurani,” kata Deviyan.
Ekonom jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut mengatakan, jika alasan untuk menggenjot penerimaan negara dari sumber pajak juga tidak menemukan alasan logisnya.
“Apalagi pada tahun 2023, penerimaan pajak sejumlah Rp1.869,2 triliun mengalami peningkatan, adapun PPN dan PPnBM mencapai Rp764,3 triliun. Jika, PPN naik menjadi 12%, maka tambahan untuk PPN hanya sekitar Rp20,26 triliun dan tidak signifikan. Pertanyaannya, lalu apa motif kenaikan PPN ini yang UU-nya disahkan juga oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia?” pungkas Defiyan dengan nada bertanya. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved