PASAL 49 ayat (1) sangat monumental dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Bunyinya adalah dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Implementasi dari UU 20/2003 antara lain memperlihatkan alokasi belanja pemerintah pusat menurut fungsi pendidikan meningkat dari Rp155,16 triliun dalam LKPP 2019 secara bertahap menjadi Rp220,8 triliun dalam RAPBN 2024.
Itu berarti bahwa sasaran alokasi APBN untuk fungsi pendidikan sebesar 10,37% tahun 2019 hingga 9,03% tahun 2024 dibandingkan jumlah belanja pemerintah pusat pada waktu itu berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN tahun anggaran 2024. Maknanya adalah amanat UU 20/2003 Sisdiknas tidak mampu direalisasikan, sekalipun atas pengajuan alokasi belanja fungsi pendidikan dari kementerian teknis melalui Kementerian Keuangan atas nama pemerintah kepada DPR RI.
Ternyata pokok persoalan tentang pendanaan belanja untuk mendanai fungsi pendidikan berawal dari sini, yaitu kemampuan pendanaan dari APBN lebih rendah dibandingkan amanat UU Sisdiknas.
Implikasinya adalah anggapan bahwa pendidikan dijadikan sebagai obyek komersialisasi sungguh kurang tepat, karena fenomena yang terjadi adalah soal ketidakmampuan dari pemerintah pusat untuk mendanai belanja pendidikan, guna mentaati amanat UU Sisdiknas.
Isu komersialisasi hanya dapat dibenarkan, jika ketika pemerintah mampu mendanai melebihi amanat dalam UU Sisdiknas, namun jika kemudian uang kuliah tunggal (UKT) senantiasa masih ditetapkan lebih tinggi dan senantiasa naik setiap tahun melebihi kemampuan ekonomi rumah tangga orang tua/wali, yang menguliahkan anak-anaknya di perguruan tinggi negeri.
Hanya jika dengan kondisional yang seperti itu, maka pemerintah dapat dikesankan menjauhkan keluarga miskin semakin jauh dari jangkauan menikmati pendidikan tinggi di negaranya sendiri. Hanya dengan kondisi yang seperti itu, maka pendidikan tinggi sama sekali bukanlah untuk mereka yang tidak mampu mendanainya.
Implikasinya adalah tidak ada pelayanan jasa pendidikan tinggi untuk rumah tangga, yang tidak mampu membayar jasa pelayanan perguruan tinggi negeri. Tidak ada pintu masuk untuk melakukan perubahan sosial melalui mekanisme kegiatan pendidikan tinggi.
Akan tetapi sesungguhnya, kemauan politik anggaran menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk program pendidikan tinggi pada Kemendikbud Ristek senantiasa lebih tinggi dibandingkan program-program lainnya. Misalnya, alokasi anggaran program pendidikan tinggi ditetapkan sebesar Rp38,57 triliun dibandingkan program PAUD dan wajib belajar 12 tahun yang sebesar Rp13,99 triliun dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2024.
Artinya, kementerian sesungguhnya tidak memposisikan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan bersifat tersier. Bukan sebagai kebutuhan yang bersifat inferior, yang kurang penting, melainkan justru tentang persoalan kebutuhan belanja untuk mendanai kegiatan perguruan tinggi itu lebih besar dibandingkan untuk mendanai kegiatan program PAUD dan wajib belajar 12 tahun.
Selanjutnya, Pasal 46 ayat (1) dalam UU Sisdiknas menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemda, dan masyarakat.
Pelibatan pemda dan masyarakat justru menguatkan bahwa kegiatan pendanaan UKT pendidikan tinggi pada dasarnya belum mampu ditanggung sendirian oleh pemerintah pusat dan pemda, bahkan oleh ekonomi rumah tangga masyarakat yang sangat memerlukan menikmati pelayanan jasa pendidikan tinggi, namun tidak mampu membayarnya.
Permenristekdikti 22/2015 menata biaya kuliah tunggal (BKT) dan UKT pada perguruan tinggi negeri di lingkungan kemenristekdikti.
Peraturan tersebut antara lain untuk Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) jenjang sarjana S1 di Institut Pertanian Bogor menetapkan BKT sebesar Rp6,093 juta dan UKT ditetapkan secara berkelompok dari I hingga VIII.
Kelompok I ditetapkan BKT sebesar Rp0,5 juta per semester dan kelompok II sebesar Rp1 juta per semester, selanjutnya secara bertahap, misalnya untuk kelompok VIII ditetapkan UKT sebesar Rp5,5 juta per semester.
Kelompok I dan II masing-masing mempunyai kuota 5%, sehingga sistem yang ditetapkan oleh Permenristekdikti 22/2015 merupakan kegiatan subsidi silang diantara kelompok UKT. Peraturan ini ditetapkan secara kondisional untuk berbagai perguruan tinggi negeri.
Implikasinya adalah pendidikan tinggi menyediakan ruang kuota sebanyak 10% untuk ekonomi rumah penduduk, yang mengalami kesulitan dalam membayar jasa pendidikan tinggi. Akibatnya adalah sungguh yang terjadi bukanlah komersialisasi pendidikan tinggi, melainkan penataan UKT sesuai kemampuan pendanaan yang ada.
Ketentuan peraturan tersebut sesungguhnya memungkinkan pengulangan tentang apa yang terjadi pada waktu pendanaan SPP periode pemerintahan Soeharto. Ketika itu diberikan kesempatan untuk anak-anak petani gurem, buruh tani, nelayan, tukang sapu jalanan, tukang mie ayam, tukang becak, dan lain-lain dapat duduk sebangku dan seruang kelas dalam kuliah bersama anak-anak dari direktur PT Perkebunan Negara, jenderal, presiden, dan pejabat negara yang lain, tanpa diskriminasi pendapatan dan status sosial.
Tidak ada yang dinamakan dengan komersialisasi pendidikan tinggi. Tidak ada larangan kuliah perguruan tinggi atas perbedaan tingkat pendapatan orang tua/wali.
Laporan keuangan teraudit dari perguruan tinggi, misalnya di Institut Pertanian Bogor tahun 2015 dan 2016, tidak mencantumkan sumber pendapatan dari APBN, melainkan dari hibah dan bantuan pendanaan perguruan tinggi badan hukum (BPPTN BH).
Akan tetapi pada laporan keuangan teraudit tahun 2017, yang di dalamnya juga mencantumkan tahun 2016 telah mencantumkan sumber pendapatan dari APBN. Ketika itu peranan APBN sebagai sumber jumlah pendapatan perguruan tinggi tersebut berperan sebesar 61,44% tahun 2016 dan 55,86% tahun 2017.
Artinya, peran APBN menurun. Peran APBN dalam laporan keuangan yang teraudit tahun 2021 menunjukkan sebesar 38,14%. Jadi, peran APBN memang menurun. Akan tetapi kuota untuk kelompok I dan II yang masing-masing sebesar 5% masih berlaku.
Oleh karena itu, persoalan UKT yang terjadi bukanlah sekedar soal diskriminasi besaran UKT per kelompok, kenaikan UKT, melainkan juga termasuk transparansi pelaporan keuangan perguruan tinggi negeri, maupun orang tua/wali untuk mendanai kelompok III hingga VIII (dan jalur mandiri).
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved