TELAH terjadi Tindak Pidana Kejahatan terhadap Pemilihan Umum (TPPU) 2024 yang dilakukan secara Brutal-Terstruktur, Sistematis, dan Masif (B-TSM).
Desain kejahatan, Intellectual Dader dan pelaku lapangan serta pendukung TPPU sudah diungkap secara cerdas oleh tiga pakar Hukum Tata Negara Indonesia, yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.
Bukti-bukti dan analisa akademis ketiga pakar HTN ini oleh sineas patriotis Dandhy Dwi Laksono dikemas secara cerdas dan empirik dalam “dokumen audio visual skandal brutal” Pilpres 2024 bertajuk Dirty Vote yang sohor itu.
TPPU bukan PHPU
Jika 20 Maret 2024 ini KPU mengumumkan hasil rekapitulasi Pilpres 2024, dan hasilnya sangat pas dengan desain dan pola kejahatan sebagaimana dikemas dalam Dirty Vote. Artinya tidak berkesesuaian sama sekali dengan kehendak rakyat, tapi cocok 100 persen dengan kehendak “dalang kejahatan pemilu” maka perbedaan ini tidak menjadi PHPU (Perselisihan Hasil Pemilu) tapi TPPU (Tindak Pidana kejahatan terhadap Pemilu).
Pertanyaannya:
Pertama, sanggupkah Mahkamah Konstitusi (MK) mengadili TPPU (Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Pemilihan Umum)?
Kedua, sanggupkah 8 anggota Majelis Hakim MK melawan pengaruh negatif Anwar Usman (bekas Ketua MK) yang jadi biang kerok pelanggaran etika berat terkait diloloskannya Gibran yang masih di bawah umur, anak Presiden Widodo yang juga keponakan Anwar Usman?
Pasal Hukum TPPU
Secara sederhana, logika hukum yang harus dipakai dalam mengadili TPPU Pilpres 2024 ini ada dua jenis.
Tindak Pidana yang mengacu pada Pasal 365 KUHPidana tentang perampokan (suara) atau pencurian dengan kekerasan secara terencana. Sedangkan pasangan calon (Presiden/Wakil Presiden) yang diuntungkan dari kasus ini, yang mendapat limpahan suara, bisa dikenakan Pasal 480 KUHPidana, yang mengatur hukuman bagi si penadah barang curian.
Pasal Etika Olahraga yang mengatur masalah anti-doping. Semangat olahraga sama seperti semangat demokrasi elektoral (pemilu), yakni meliputi etika, fair play, dan kejujuran. Praktik anti-doping didasarkan pada landasan etika ini dan didukung di seluruh dunia.
Sebagai referensi, pada 2011 atlet Kempo nasional Arif Rahman berhasil meraih medali emas pada Sea Games 2011 di Jakarta-Palembang. Namun ketika Arif Rahman terbukti doping mengkonsumsi anabolic steroid methandienone, dia diskors larangan tanding selama dua tahun dan Medali Emas yang diraih dibatalkan oleh Federasi Sea Games.
Logika sederhananya, paslon memenangi Pilpres 2024 karena “mengonsumsi suara yang diperoleh dari cara-cara melanggar etika/hukum” bisa disamakan dengan doping di dunia olahraga.
Maka jika terbukti, kemenangannya bisa dibatalkan KPU atas rekomendasi Mahkamah Konstitusi. Hak politiknya dicabut selama satu atau dua kali musim pemilu.
Kepada peraih suara terbanyak kedua dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2024, atau Pilpres dilanjutkan menggunakan jadwal putaran kedua, dengan kontestan Dua Paslon tersisa, karena “Paslon doping” didiskualifikasi.
Begitulah logika sederhana untuk mengatasi persoalan elektoral brutal 2024 gegara penguasa ogah mengakhiri kekuasaannya sesuai etika dan batasan dalam berdemokrasi yang dipahat di lembaran Konstitusi.
Semoga cara sederhana ini bisa menghindarkan bangsa ini kembali terjebak khaos, social unrest, kerusuhan sosial yang dipicu oleh kerakusan akan kekuasaan satu keluarga yang tidak pernah memikirkan nasib dan masa depan rakyatnya.
*Penulis adalah Aktivis Senior, Maestro Demokrasi, Mantan Juru Bicara Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid.
© Copyright 2024, All Rights Reserved