Indonesia kembali mengekspor telur ayam tetas ke Myanmar setelah vakum selama 11 tahun. Ekspor ini merupakan yang pertama semenjak Indonesia terserang wabah Avian Influenza atau flu burung pada 2004. Kepercayaan negara pengimpor yang menurun karena wabah flu burung membutuhkan waktu negosiasi yang cukup lama. Prosesnya berliku dan perlu penyesuaian regulasi-regulasi diantara kedua negara.
Demikian disampaikan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) Muladno kepada politikindonesia.com usai membuka secara resmi membuka pameran The 2 nd International Livestock And Dairy Expo (ILDEX) 2015, di Jakarta, Kamis (08/10).
Dikatakannya, PT. Japfa Comfeed Indonesia adalah salah satu perusahaan yang telah menandatangani kontrak ekspor tersebut hingga tahun 2017. Adapun kendala yang dihadapi yaitu Undang-undang (UU) di Myanmar yang mengisyaratkan impor hanya boleh dilakukan dari negara yang sudah dinyatakan bebas penyakit flu burung oleh organisasi kesehatan hewan internasional (OIE). Sementara untuk Indonesia, hingga saat ini belum dinyatakan bebas flu burung oleh OIE.
"Mengetahui peraturan itu, kami tindak tinggal diam. Kami pun melakukan berbagai cara untuk menyakinkan Myanmar agar tetap mau menerima telur ayam tetas dari Indonesia. Salah satunya dengan mempertemukan sejumlah ahli kedua negara untuk bisa memberi keyakinan kepada Pemerintah Myanmar dan pelaku usaha di Myanmar. Kami pun berhasil menyakinkan pemerintah Myanmar untuk mengubah kebijakan internal di negaranya dan mengizinkan impor telur induk ayam dari Indonesia," ujarnya.
Dijelaskan, perubahan kebijakan Pemerintah Myanmar itu lantaran telur ayam asal Indonesia sudah dinyatakan terbebas dari 16 penyakit unggas yang dipersyaratkan. Sertifikat kesehatan telur ini diterbitkan setelah petugas melakukan pemeriksaan dokumen dan teknis kesehatan hewan. "Kita memang belum terbebas dari flu burung, tapi Badan Karantina Kementan sudah mengeluarkan surat rekomendasi bebas flu burung bagi 33.125 butir telur tetas senilai 29.750 euro yang sudah dikirim ke Myanmar. Bahkan, ekspor produk ayam daging, telur dan olahan asal Indonesia bisa saja dilakukan, asalkan ada permintaan dari negara terkait," tuturnya.
Dijelaskan Muladno, komitmen pemerintah Myanmar untuk mengimpor telur ayam tetas dari Indonesia, diawali kehadiran delegasi Myanmar ke Indonesia pada 30 Juni 2015 yang dipimpin langsung Deputi Menteri Peternakan, Perikanan dan Pembangunan Desa Aung Myat Oo. Kedatangan mereka ke Indonesia hanya
untuk mempelajari langsung sistem manajemen penanggulangan flu burung di Indonesia dan berkunjung ke pabrik pembibitan unggas.
"Keyakinam Myamar untuk mengimpor dari Indonesia karena keberhasilan Indonesia dalam menangani flu burung walau dengan vaksin. Indonesia dianggap berhasil menanggulangi flu burung dengan menurun kasus dari 2.751 pada 2007 menjadi 56 kasus hingga Mei 2015. Akhirnya, Myanmar membolehkan telur tetas ayam Indonesia masuk ke negaranya," paparnya.
Dengan kerjasama ini, tambah Muladno, untuk ke depannya diharapkan perusahaan perunggasan di Indonesia akan semakin banyak yang melakukan ekspor. Karena pihaknya menargetkan ekspor telur ayam hingga total 364.362 butir telur selama 2015.
"Kami sangat mendorong perusahaan untuk mengekspor sebanyak-banyaknya, tidak hanya ke satu negara namun juga ke negara-negara lain yang lebih maju. Tidak hanya Japfa saja, tapi juga oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Kami pun akan membantu dari sisi regulasi-regulasi yang menghambat, meningkatkan biaya, menyulitkan hubungan kerjasama antar negara akan kami permudah. Kami bertekat memudahkan semuanya sepanjang itu memberikan manfaat kepada masyarakat," tandasnya.
Dibeberkan, untuk Japfa rencananya mengekspor 100.000 telur ayam tetas ke Myanmar senilai Rp2,27 miliar. Pengiriman akan dilakukan dalam 3 tahap sampai akhir tahun 2015. Pengapalan sudah dilakukan pada 8 Septembet 2015 dan 29 September 2015. Total telur ayam tetas yang sudah di ekspor sebanyak 390.000 butir.
"Potensi ayam pedaging Indonesia tahun ini mencapI 3,3 miliar ekor. Sedangkan, kebutuhan dalam negeri hanya 2,44 miliar ekor. Melimpahnya surplus ayam di dalam negeri ini membuat peternak ayam di dalam negeri merugi dalam beberapa tahun terakhir. Karena itu, kami berupaya mendorong ekspor ayam untuk menyeimbangkan suplai dan kebutuhan di dalam negeri," imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Barang Pokok dan Barang Strategis Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Robert Bintaryo menambahkan walaupun saat ini Indonesia sudah swasembada daging ayam dan telur, namun tidak luput memiliki potensi berfluktuasi. Bahkan komoditas segar hasil peternakan ini juga mengalami disparitas harga yang lebih besar ketimbang beku maupun olahan.
"Hal tersebut lebih disebabkan keterbatasan waktu simpan dan distribusi. Oleh sebab itu, kami berkepentingan untuk mengurangi fluktuasi dan disparitas harga antar wilayah maupun waktu. Data yang kamibdiperoleh dari Dinas Perdagangan Provinsi per 6 Oktober 2014, misalnya harga daging ayam di tingkat nasional sebsar Rp29.000 per kilogram (kg). Sementara harga terendah sebesar Rp18.500/kg di Banda Aceh, namun di Manokwari mencapai Rp42.000/kg," ucapnya.
Dikatakan, dalam hal ini pihaknya memiliki kepentingan terhadap ketersediaan barang kebutuhan pokok, termasuk komoditi hasil peternakan dengan jumlah yang memadai. Selain itu, mutu juga harus terjaga baik dan harga yang terjangkau. Amanat menjaga ketersediaan bahan pangan pokok itu tertuang dalam UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
"Jadi sudah sepatutnya perlu digalakan invovasi-inovasi dibidang pengolahan komoditi hasil peternakan dan juga edukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan preferensi terhadap produk non segar. Sehingga produknya lebih mudah didistribusikan dan disimpan dalam jangka waktu relatif lebih lama. Karena kami belum merasa puas dengan swasembada daging ayam saja. Komoditas lain juga harus bisa mencapai jumlah uang mencukupi kebutuhan masyarakat," tandas dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved