Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan untuk mengajukan banding atas vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap dua terdakwa kasus korupsi proyek KTP elektronik, Irman dan Sugiharto. KPK merasa sejumlah fakta sidang tidak masuk dalam putusan hakim tersebut.
“Kami berharap hakim di tingkat lebih tinggi, baik Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung lebih komprehensif,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Senin (07/08) malam.
Febri mengatakan, dalam berkas putusan terdakwa Irman dan Sugiharto, majelis hakim tidak memasukkan sejumlah individu dan korporasi secara komprehensif. Padahal, ada bukti dan fakta yang menyebut aliran dana mengalir ke sejumlah pihak yang lebih banyak dari hasil putusan.
Dari 38 nama yang diduga menerima aliran dana proyek e-KTP dalam tuntutan jaksa, tersisa 19 nama yang masih disebut dalam vonis hakim. Sebagian besar nama yang menghilang merupakan anggota DPR aktif, ataupun eks anggota DPR.
Dalam vonis hakim, tak ada nama Gamawan Fauzi, Anas Urbaningrum, Ganjar Pranowo, Yasonna Laoly, Marzuki Alie dan sejumlah nama besar lain. Nama anggota DPR yang masih masuk dalam vonis dan diduga menerima aliran uang e-KTP yaitu Ade Komarudin (Golkar), Markus Nari (Golkar), dan Miryam S Haryani. Dua nama yang disebut terakhir sudah berstatus tersangka di KPK.
KPK pun berupaya mengejar keterlibatan nama-nama tersebut melalui upaya banding. “Banding kita lakukan karena, menurut KPK, ada sejumlah fakta di persidangan terkait keterangan saksi-saksi atau bukti yang belum dipertimbangkan oleh hakim," ujar Febri.
KPK berharap hakim di tingkat yang lebih tinggi, baik di pengadilan tinggi atau sampai di Mahkamah Agung bisa mempertimbangkan dengan lebih komprehensif. “Sehingga kita bisa tahu siapa saja pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus e-KTP ini, termasuk indikasi pada sejumlah pihak," tandas Febri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved