Banyak hal yang janggal dalam pengelolaan Pertal oleh Pertamina. Indikasi salah kelola di Petral menyebabkan inefisiensi dalam pengadaan minyak oleh Pertamina. Perlu transparansi, melalui audit tata kelola di Petral, mulai dari sistem pengadaan hingga sistem transportasi dalam pengadaan BBM impor.
Setidaknya, demikian pendapat yang dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Erik Satrya Wardhana melalui rilis yang diterima politikindonesia.com, Rabu (14/03). Ada banyak hal janggal dalam pengelolaan Petral yang menjadi pertanyaan politisi Partai Hanura tersebut.
Misalnya, soal pola pembelian melalui broker atau trader yang dilakukan oleh Petral dalam pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minya (BBM) jenis premium. Secara logika, pembelian tidak langsung (melalui broker/trader) pasti akan lebih mahal dari pada pembelian langsung kepada produsen. Kondisi ini menjadi penyebab tingginya biaya pengadaan, yang secara otomatis memberi kontribusi bagi mahalnya harga minyak di dalam negeri yang berakibat pada beban APBN.
Fakta ini, ujar Erik, dapat dilihat dalam kejanggalan pada kasus pengadaan minyak mentah jenis azari crude yang dilakukan Petral. Dimana, harga dari Socar yang merupakan produsen azeri crude ternyata lebih mahal dari harga yang ditawarkan PTT Thailand yang merupakan trader.
Sedangkan penjelasan Vice Presiden Marketing Petral pada 23 Februari lalu, bahwa alasan dimenangkannya PTT Thailand karena harga yang ditawarkan lebih rendah dibanding Socar. “Ini aneh, karena PTT Thailand pasti memperoleh azari crude dari Socar. Bagaimana mungkin harga trader lebih rendah dibanding harga produsen.”
Disamping itu, Erik juga mempertanyakan besaran minus alfa dalam penentuan harga beli BBM premium. Perlu diketahui bahwa tidak ada lagi kilang minyak di dunia saat ini yang memproduksi gasoline RON 88 (tidak ada MOPS untuk RON 88). Yang ada, hanya RON 92, RON 95, dan RON 97.
Akibatnya, Pertamina menentukan harga beli RON 88 alias BBM Premium mengacu ke harga MOPS RON 92 dikurangi besaran alfa. “Kami menerima data bahwa besaran alfa pada januari 2012 sebesar USD -1.70 perbarel, dan setiap bulan Indonesia mengimpor BBM premium sebesar 7-8 juta barel,” ungkap Erik.
Pertamina atau Petral harus menjelaskan besaran minus alfa ini secara detil, karena ini menyangkut angka yangsangat besar. Besaran minus alfa yang tidak jelas inilah yang membuka peluang terjadinya mark up.
Persoalan lainnya yang melingkupi Pertal, adalah terkait beban transportasi. Erick mengaku menerima data adanya inefsiensi dalam pengapalan minyak. Berdasarkan data yang diterima, besarnya inefisiensi di proses pengapalan mencapai sekitar Rp26,1 miliar sebulan atau lebih dari Rp300 miliar setahun.
“Lagi-lagi ini akibat praktek broker yang menyebabkan biaya sewa kapal menjadi terlalu besar, jauh di atas harga yang wajar. Kalau di total permainan dalam pengadaan crude oil, premium, solar dan avtur, inefisiensi Petral bisa mencapai sekitar Rp.4 triliun dalam setahun,” terang Erik.
Untuk itu, politisi dari Partai Hanura itu meminta Pertamina untuk menjelaskan secara transparan besaran biaya yang sesungguhnya pada sistem pengelolaan anak perusahaan Pertamina itu.
Lebih jauh lagi, perlu audit menyeluruh yang dilakukan oleh lembaga independen untuk menjawab sengkarut masalah tersebut. “Perlu transparansi, melalui audit tata kelola di Petral, mulai dari sistem pengadaan hingga sistem transportasi dalam pengadaan BBM impor. Bila efisiensi ini bisa ditempuh, nilai ekonomi dari penghematan yang terjadi akan menjawab bahwa sebenarnya kita tidak perlu menaikan harga BBM” pungkas Erik.
Erik Satrya Wardhana, Wakil Ketua Komisi VI DPR
© Copyright 2024, All Rights Reserved