Rancangan Undang-Undang tentang pemberantasan terorisme saat ini masih dalam tahap pembahasan bersama pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan urung disahkan dalam masa sidang IV ini. Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menilai masih ada sejumlah masalah dalam RUU tersebut, karena masih jauh dari harapan memenuhi standar HAM.
Aktivis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting mengatakan, beberapa pasal yang ada di RUU tersebut, tidak berdasarkan kepada pendekatan hukum dan peraturan yang ada.
Pasal-pasal iitu dinilainya memakai pendekatan perang terhadap aksi terorisme. Sehingga terduga teroris dapat ditahan dan ditangkap, bahkan dianiaya tanpa alasan yang jelas.
“Dalam RUU ini, teroris dikategorikan sebagai tindak pidana. Kalau kita sepakat terorisme itu pidana, maka penanganannya harus sesuai dengan hukum pidana. Kami melihat RUU ini masih jauh dari perspektif hukum. Sehingga sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM," ujar dia kepada politikindonesia.com di Kantor KontraS, Jakarta, Jumat (29/04).
Miko mencontohkan, kasus Siyono yang diduga teroris oleh aparat dan kemudian meninggal tanpa status hukum dan alasan yang mendasar. Nasib yang menimpa Siyono bisa saja terjadi kepada terduga teroris lainnya yang tidak terekspos oleh media dan masyarakat.
Miko menilai, penanganan terorisme dalam RUU Terorisme tidak menempatkan terduga teroris sebagai manusia seutuhnya. “Kata “terduga”, tidak ada dalam nomenklatur hukum Indonesia, sehingga tidak bisa menjadi alasan untuk menahan atau menangkap seseorang. Hukum yang ada saat ini langsung memakai kata "tersangka", yang artinya sudah ada penyelidikan terlebih dahulu dan sudah memiliki 2 alat bukti," ujarnya.
Menurutnya, jika memakai pendekatan hukum, terduga teroris akan lebih dimanusiakan karena status yang jelas dan dapat diadili bersalah atau tidaknya. Oleh sebab itu, pihaknya meminta adanya peninjauan ulang terhadap kebijakan ini sehingga tak terkesan menggunakan pendekatan perang ketimbang pendekatan hukum.
“Evaluasi menyeluruh terhadap penindakan terduga teroris harus segera dilakukan sebelum RUU ini disahkan menjadi UU. Karena beberapa pasal dalam RUU ini lebih kepada pendekatan perang, padahal Indonesia sebagai negara demokratis," ujarnya.
Miko menilai, pembahasan RUU tersebut masih terlalu fokus pada penindakan kasus teroris. Oleh karena itu, dalam RUU ini peran masyarakat dapat menjadi satu pertimbangan dalam memutuskan RUU ini.
"Publik belum dilibatkan secara aktif. Sehingga terkesan RUU ini belum mendorong keterbukaan aparat hukum dalam kasus teroris. DPR harusnya membuka ruang publik," imbuhnya.
Sementara itu, aktivis HAM lainnya dari ICJR, Erasmus Napitupulu justru mempertanyakan RUU terorisme yang tidak sedikitpun membahas korban teroris. Dalam ayat di pasal-pasal RUU itu tidak ada satu kata pun yang bicara tentang korban teroris.
“Semua pasal yang ada hanya membicarakan mengenai bagaimana secara efektif menangkap pelaku, menyimpan pelaku, menghilangkan jejak dan lain-lain," tandasnya.
Dijelaskan, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan nasib para korban. Kompensasi hingga rehabilitasi masih belum menjadi perhatian pemerintah dalam kasus terorisme. Justru yang terjadi, kompensasi tidak manusiawi baru diberikan setelah proses persidangan.
"Hingga kini sudah berapa banyak kasus terorisme dibawa ke sidang? Kalau tidak mati, para terduga tidak bisa dibawa ke sidang. Lucunya lagi, kalau tidak ada sidang maka kompenasasi tidak turun. Lalu, kalau tidak ada kompensasi, bagaimana nasib korbannya," imbuhnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved