Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai membahas rencana revisi Undang-Undang Anti terorisme. Sejumlah usulan pemerintah disampaikan Jaksa Agung M Prasetyo terkait rencana penyempurnaan UU tersebut.
Dalam rapat kerja bersama Komisi I dan Komisi III DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/02), Prasetyo meminta agar UU Terorisme yang disempurnakan juga mengatur soal penggunaan senjata kimia.
“Ada kategorisasi terorisme baru. Jadi kami harap agar diatur memperdagangkan senjata kimia, tenaga nuklir dan zat radioaktif untuk masuk dalam tindak pidana," ujar dia.
Revisi UU Nomor 1 Tahun 2002 itu juga diharapkan bisa menunjang tindakan preventif dalam penanggulangan aksi teror. Sehingga aparat bisa bertindak meski pelaku baru sekadar melakukan rencana.
“UU kita masih belum mengakomodir, selama ini cuma delik material. Selama ini kita lebih banyak bertumpu pada saksi dan petunjuk yang ada. Minim alat bukti. Tentunya kita berharap untuk antisipasi minimnya alat bukti, dalam revisi bisa menerima bukti intelijen sebagai salah satu bukti yang sah," kata Prasetyo.
Jaksa Agung menyebut, program deradikalisasi belum optimal, karena biayanya mahal. Ia mengatakan, 15 persen dari 600 narapidana terorisme, setelah melakukan hukuman mereka balik jadi teroris lagi. “Atas dasar itu, UU Terorisme jadi sangat penting dan mendesak," sambungnya.
Kemudian poin yang diminta pemerintah dalam revisi UU terorisme adalah mengenai larangan melakukan hubungan dengan organisasi radikal luar negeri. Sebab selama ini, ujar Prasetyo, pelaku teror mengirimkan agennya ke luar negeri terkait aksi radikal, namun belum bisa dijangkau oleh undang-undang.
“(Kemudian) larangan latihan militer di luar negeri dan bergabung dengan organisasi radikal baik di Indonesia maupun luar ngeri. Larangan melakukan hubungan langsung atau tidak langsung dengan teroris. Juga mengembangakan dan menyebarkan faham terorisme ke orang lain," bebernya.
Prasetyo menambahkan, pemerintah juga berharap tindakan mengajak orang bergabung dalam tindak radikalisme diatur dalam revisi UU Terorisme dan dapat dipidanakan. Juga dengan aksi pengiriman orang lain untuk melakukan aksi teror.
"Membantu dan menyumbangkan harta untuk keperluan kelompok radikal. Lalu membantu mempersiapkan kegiatan terorisme, dan mengancam orang untuk masuk dalam kegiatan terorisme," jelas Prasetyo.
Selain itu, pemerintah juga meminta agar tenggat waktu penahanan bagi terduga teroris diperpanjang. Hal tersebut agar polisi bisa lebih ketika melakukan penyelidikan dalam kasus yang berkaitan dengan aksi teror.
"Penahanan yang hanya 20 hari bisa diperpanjang 40 hari, sebab ini pelik dan susah, tenggat waktu perlu lebih longgar. Apalagi ketika meneliti berkas perkara.”
Jaksa Agung juga menyampaikan, hasil resolusi dewan keamanan PBB, yang mengimbau untuk meningkatkan perhatian mobilitas terorisme internasional.
Resolusi yang dimaksud, mengenai efektivitas pengawas lintas batas, pemeriksaan ekstra dokumen perjalanan. Kemudian juga agar meningkatkan kerja sama informasi dan sistem keuangan serta sistem lainnya.
"Lalu membuat peraturan yang dipatuhi oleh maskapai penerbangan, pelayaran dan lain-lain agar bersama-sama pemerintah untuk membuat early warning system," tandas Prasetyo.
© Copyright 2024, All Rights Reserved