{[Rapimnas Golkar tidak akan menghasilkan keputusan signifikan tentang reposisi Golkar terhadap pemerintahan.]}
Pernyataan sikap beberapa DPD Partai Golkar yang menyatakan pencabutan dukungan terhadap pemerintahan SBY dan disiarkan di berbagai media massa memang belum menjadi sikap politik Partai Golkar secara resmi. Namun, riak-riak politik yang muncul dari beberapa pengurus daerah partai berlambang pohon beringin itu bisa jadi hanya sebatas ‘pemanas’ arena Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar yang kini tengah berlangsung.
Sebenarnya, manuver politik yang demikian bukan hal baru bagi Golkar. Jika dirunut kebelakang, sejak Pemilihan Presiden putaran pertama dan kedua tahun 2004, hingga Rapimnas saat ini, Partai Golkar memang belum pernah secara resmi menyatakan dukungan politiknya secara penuh terhadap pemerintahan SBY-JK.
Justru akan menjadi sesuatu yang baru jika Rapimnas Partai Golkar kali ini memunculkan pernyataan sikap politik yang berkomitmen penuh (berada satu kubu) dengan pemerintahan SBY-JK.
Semua tahu, realitas politik dalam partai golkar sering kali terbelah dalam berbagai faksi, apalagi dalam menyikapi situasi politik dalam negeri. Terkadang faksi itu terlihat sangat tajam. Sebut saja, ketika Partai Golkar dibawah pimpinan Akbar Tanjung menjadi motor Koalisi Kebangsaan dengan mengusung pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi menjadi capres- cawapres pada putaran kedua.
Ketika itu, beberapa fungsionaris Golkar berseberangan dengan sikap partai. Misalnya Fahmi Idris, Idrus Marham, Pryio Budi Santoso. Mereka lebih mendukung pasangan SBY-JK ketimbang pilihan resmi partai Golkar. Perbedaan sikap politik ini justru kemudian berujung pemecatan terhadap sejumlah anggota golkar yang berseberangan tersebut.
Gerakan politik, termasuk didalamnya manuver politik untuk mendapat posisi tawar ({bargaining position}) lebih baik yang dimainkan Partai Golkar, memang bisa dijadikan ’rujukan politik’ di dalam negeri. Ketika rezim orde baru tumbang, hampir-hampir tidak ada aktivis politik yang tidak menghujat Partai Golkar. Bahkan beberapa dari mereka menuntut pembubaran Partai Golkar. Siapa sangka, serangan politik yang begitu tajam justru dimainkan politisi Golkar dibawah komando Akbar Tanjung secara terencana dan sistematis. Bukannya partai ini menjadi marjinal, dengan slogan ”Golkar Baru” mereka justru mampu membalikkan keadaan, unggul dalam perolehan kursi di parlemen melalui pemilu 2004.
Setelah ”blunder” pilihan politik di era Pilpres 2004, melalui munas Partai Golkar di Bali, Akbar Tanjung ’dipensiunkan’ dari jabatan Ketua Umum. Jusuf Kalla yang kini menjadi Wakil Presiden -- ketika Pilpres 2004 tidak didukung Partai Golkar, justru dipilih peserta munas untuk menggantikan Akbar Tanjung sebagai ketua umum yang baru.
Dari pernik-pernik politik yang dimainkan politisi Golkar, terlihat benang merah, dimana Partai Golkar tidak bisa jauh dari kekuasaan di pemerintahan. Artinya, belum ada rumus baku di dalam {flatform} politik bagi Golkar untuk menjauhi kekuasaan. Apalagi menjadi oposisi pemerintah, seperti yang ditampilkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) saat ini.
Jadi, manuver politik beberapa DPD I dan II Partai Golkar yang mencabut dukungan terhadap pemerintahan SBY-JK, anginnya lebih kepada upaya untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik. Misalnya, tambahan kursi di kabinet atau sharing kekuasaan lebih besar dalam menentukan kebijakan di pemerintahan, tentu melalui tangan Ketua Umum Partai Golkar yang notabene adalah Wakil Presiden. Sebab akan menjadi janggal dan belum ada fatsun politiknya, bila Partai Golkar mencabut dukungan terhadap pemerintah yang berkuasa saat ini. Itu sama artinya Partai Golkar tidak mendukung ketua umum partai sendiri.
Dalam Rapimnas kali ini, kepiawaian politik Jusuf Kalla sebagai ketua umum Partai Golkar yang sekaligus Wakil Presiden akan mendapat ujian. Karena ada situasi politik di DPD I dan II yang telah mencabut dukungan terhadap pemerintahan SBY. Sedang disisi lain, khususnya melalui Panitia Rapimnas menyatakan tidak ada agenda dalam rapim untuk membahas sikap politik DPD I dan DPD II belakangan ini. Tapi, ada kalimat yang ’menggantung’ -- ”kecuali kalau ada desakan dari mayoritas peserta rapim yang menginnginkan pembahasan tentang hal itu.”
Pada kondisi politik saat ini, bisa jadi ada beragam ’skenario’ politik yang akan muncul. Pertama, guna ’menjinakkan’ arus bawah dalam tubuh partainya sendiri, JK akan meminta konsesi-konsensi politik lebih besar terhadap SBY, sesuai dengan sikap politik sebagian arus bawah Golkar. Sepanjang konsesi belum terpenuhi, manuver politik arus bawah akan terus berjalan dengan alasan: ”ini negara demokrasi.” Kedua, bila konsesi-konsesi politik lebih besar belum didapatkan dari SBY, bisa jadi JK sebagai Ketua Umum Partai akan memberikan konsesi-konsesi politik kepada anggotanya guna meredam gejolak didalam partai. Dengan demikain arus bawah yang berseberangan dengan pemerintahan SBY bisa tetap dalam kendalinya. Ketiga, bila skenario pertama dan kedua tidak terpenuhi, bisa jadi posisi JK didalam partai akan goyang. Bila ini yang terjadi, maka terbuka peluang besar bagi faksi yang berseberangan dengan faksi JK untuk mengambil peran ditubuh Golkar. Keempat, bila skenario ketiga yang terjadi, dalam jangka pendek posisi tawar JK sebagai ketua umum partai akan melemah. Bukan tak mungkin peluangnya untuk maju menghadapi pemilu 2009 mendatang dengan mengusung partai Golkar menjadi kecil.
Bila melihat kondisi yang demikian, Rapimnas kali ini belum akan sampai pada keputusan politik yang signifikan terhadap pemerintah SBY. Sebab kondisi politik nasional tidak berada pada titik ekstrem. Dimana para politisi, khususnya politisi Golkar perlu bersikap secara tajam untuk memilih hitam atau putih. Apalagi intuisi dan naluri politik SBY kini kian tajam. Itu diperlihatkannya dengan tetap konsisten mempertahankan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) yang ’digugat’ oleh mayoritas politisi Golkar.
* Penulis adalah Direktur Eksekutif pada Pusat Kajian Politik dan Militer (P2M)
© Copyright 2024, All Rights Reserved