Pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sepakat untuk menyusun agenda reformasi agraria secara komprehensif guna memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dianggap penting dan menjadi prioritas karena ribuan perkara pertanahan di tanah air amat potensial berubah menjadi masalah politik.
Demikian hasil rapat kerja (raker) antara pemerintah dengan DPD di Jakarta, Selasa (7/11) petang dalam rangka proses revisi Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) Nomor 5 Tahun 1960. Dalam raker tersebut pemerintah diwakili oleh Menteri Dalam Negeri M Ma`ruf, Menteri kehutanan MS Kaban, dan Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, sedangkan DPD diwakili oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I.
Wakil Ketua DPD, Laode Ida dan Wakil Ketua PAH I, Marhany V Pua, serta sejumlah anggota DPD lainnya menyorot kritis tentang pengalihan lahan di banyak daerah di luar Jawa atas nama negara dengan mengorbankan penduduk lokal. DPD merasa hal itu merupakan sesuatu yang amat berbahaya jika orang lokal terus dipaksa harus mengorbankan tanahnya untuk kepentingan komersial, dan lain-lain. Atau, kaum pendatang diberi lahan sesuai pemerintah yang bertindak atas nama negara, sementara orang-orang lokal yang tak punya lahan tetap dibiarkan miskin. Hal-hal tersebut bisa menuju pada konflik horisontal dan menciptakan masalah politik serius di kemudian hari, ungkap Laode Ida.
Menhut MS Kaban sepakat dengan apa yang diungkapkan DPD dengan mengatakan seharusnya setiap kali ada pembukaan areal hutan untuk transmigrasi dipertimbangkan terlebih dulu kepentingan masyarakat lokal, kemudian pendatang. Sementara itu, Kepala BPN, Joyo Winoto juga menambahkan masalah pertanahan semakin runyam karena penataan tentang batas-batas tanah ulayat atau tanah milik adat dan suku, serta jaminan atas hak atas areal tersebut belum secara tegas tertata secara baik di republik ini.
Karena itulah, para anggota DPD mendesak agar migrasi horisontal, apakah itu karena program transmigrasi oleh pemerintah maupun spontanitas terjadi akibat kondisi mobilitas ekspansi penduduk, mesti mendapat perhatian dalam proses revisi UU PA 1960.
"Jika tidak, akan semakin banyak perkara pertanahan yang bisa memicu persoalan-persoalan politik, baik di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, maupun Jawa, yang pada giliran berikutnya sangat berpotensi ke arah proses disintegrasi bangsa serta mengganggu keutuhan NKRI," kata Marhany V Pua.
© Copyright 2024, All Rights Reserved