Stigma tak ramah lingkungan masih melekat terhadap produk sawit asal Indonesia. Padahal permintaan minyak sawit yang berkelanjutan diprediksi bakal terus meningkat ditahun-tahun mendatang. Sudah seharusnya, pemerintah harus memiliki strategi untuk menjamin produksi sawit berkelanjutan.
“Memang diperlukan terobosan dalam menciptakan stigma positif dan menjamin produksi kelapa sawit secara berkelanjutan. Sehingga Indonesia tak akan kehilangan pasar ekspornya karena negara-negara maju di dunia mulai selektif dalam memilih produk sawit yang berkelanjutan," ujar Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto kepada politikindonesia.com disela-sela diskusi bertema "Menjembatani Petani Sawit Menuju Praktik Berkelanjutan", di Jakarta, Selasa (19/04).
Darto mengatakan, mayoritas Crude Palm Oil (CPO) Indonesia berorientasi ekspor. Sementara, sekitar 40 persen dari produksi sawit Indonesia dihasilkan dari perkebunan kecil rakyat yang dikelola oleh petani sawit. Produksi rata-rata antara 12-14 juta/ha/tahun.
“Pada tahun 2015, Indonesia memproduksi setidaknya 31,5 juta ton CPO dan sekitar 21 juta ton di ekspor, sisanya untuk konsumsi dalam negeri. Melihat kondisi seperti itu, kami pun mendorong pemerintah agar menciptakan Desa Sawit Lestari. Karena cara ini dapat memperkuat implementasi Sawit berkelanjutan di Indonesia," ungkapnya.
Dijelaskan, ide desa sawit lestari ini muncul karena petani sawit sering menghadapi persoalan seperti produktivitas yang menurun dan harga sawit yang juga turun. Penyebabnya ada berbagai faktor, di antaranya bibit dan pupuk yang kurang baik. Selain itu, kurangnya pengetahuan petani tentang praktik bertani berkelanjutan dan teknologi yang dapat membantu meningkatkan produktivitas.
"Permasalahan mendasar lainnya yang masih menjadi kendala para petani sawit dalam praktik bercocok tanam sehari-hari adalah tidak adanya dokumen hukum terhadap lahan yang dimiliki. Hal itu menimbulkan petani sulit mendapatkan akses keuangan untuk membantu mereka melakukan penanaman ulang, pembukaan lahan tanpa membakar, maupun membeli bibit dan pupuk yang berkualitas," ucapnya.
Diharapkan, dengan ide ini mampu menjadikan desa sebagai suatu satuan pemangku kepentingan untuk mempercepat produksi sawit berkelanjutan. Karena dengan menerapkan Desa Sawit Lestari, maka tidak semata-mata memandang sawit sebagai suatu komoditas tunggal yang berdiri sendiri dan menjadi urusan para petani sawit saja.
"Gagasan ini menekankan pada terbangunnya sebuah sistem terpadu, di mana sawit dapat terintegrasi dan berjalan seiring dengan sistem sosial masyarakat desa yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka," ujarnya.
Untuk tahap awal, lanjutnya, implementasi konsep Desa Sawit Lestari, akan dilakukan di Desa Sei Kijang, Desa Simpang Beringin, dan Desa Muda Setia di Kabupaten Pelalawan, Riau. Ketiga desa tersebut akan menjadi desa percontohan implementasi Desa Sawit Lestari pertama di Indonesia.
"Dengan mengintegrasikan perangkat, peraturan dan dana desa yang tersedia, petani sawit akan mendapatkan dukungan penuh dalam mengimplementasi praktik bertani yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Sehingga pada akhirnya produk sawit berkelanjutan mampu memperkuat posisi Indonesia di dunia internasionaln" ungkap Darto.
Sementara itu, Kepala Sub Bidang Pembangunan Partisipatif Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Bito Wikantoso, menyambut baik gagasan Desa Sawit Lestari. Karena memang sudah saatnya pemerintah desa hadir membantu petani untuk memperjuangkan sawit berkelanjutan. Sehingga komoditas ini benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat desa.
Sebenarnya kelapa sawit dapat menjadi komoditas yang mendorong potensi dan inisatif ekonomi lainnya yang ada di desa. Sehingga akhirnya keseluruhan ekosistem desa dapat saling bersinergi untuk mendongkrak status sosial ekonomi masyarakatnya untuk jangka panjang," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved