Mikul dhuwur mendem jero. Jangan hanya mengingat seseorang hanya karena kesalahannya. Agaknya falsafah Jawa yang terkenal itulah yang diterapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kasus mantan Presiden Soeharto dan juga kasus semua mantan Presiden Indonesia. Posisi Soeharto tidak akan diletakkan melulu pada posisi yang salah.
”Untuk kasus mantan Presiden Soeharto, Presiden Yudhoyono menerapkan filosofi mikul dhuwur mendem jero. Presiden tidak akan menyalahkan mantan-mantan pemimpin, apakah itu Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tidak akan pernah mereka diposisikan dalam hal yang salah," ujar Ketua Umum Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak Mulia Irsyad Sudiro seusai menghadap Presiden Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Senin.
Sementara itu, dalam Rapat Kerja Komisi III DPR, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan bahwa dirinya tidak menjadi tumbal atau menumbalkan diri berkaitan dengan penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) mantan Presiden Soeharto. Ia pun yakin tidak ada perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Presiden Yudhoyono. ”Tidak ada intervensi eksekutif terhadap yudikatif. Saya sebagai Jaksa Agung tidak berbeda pendapat dengan Presiden, hanya Presiden ingin mengendapkan,” kata Jaksa Agung menjawab pertanyaan keras sejumlah anggota Komisi III DPR dalam rapat kerja yang dipimpin Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumut II), Senin (22/5).
Sebelumnya, Yasonna M Laoly (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara I) menanyakan, apakah Jaksa Agung sudah dikorbankan dengan mengeluarkan SKP3. ”Saya tidak yakin Jaksa Agung tidak konsultasi dengan Presiden dan Wakil Presiden untuk kasus sepenting ini,” kata Yasonna.
Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P, Jawa Timur V) menyampaikan, gugatan perdata yang akan dilakukan Kejagung terhadap Soeharto untuk mengembalikan kerugian negara dikhawatirkan gagal. Apalagi, hal itu bertentangan dengan aturan hukum perdata.
Mengenai pendapat itu, Jaksa Agung di luar rapat menyatakan, pendapat itu menjadi masukan bagi Kejagung. Namun, Jaksa Agung menyatakan, dirinya punya tim dan data yang kuat dalam persiapan menggugat perdata.
Di luar rapat, Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin yang menjadi jaksa penuntut umum perkara Soeharto menyatakan, saat menangani perkara itu kejaksaan sudah menyita sejumlah barang bukti. Jika gugatan perdata jadi dilayangkan, lebih dulu dievaluasi aset yang disita, untuk menentukan nilainya. "Apakah cukup untuk mengganti kerugian negara, yang saat itu sekitar 4,19 juta dollar AS dan Rp 1,39 triliun," kata Muchtar.
Jaksa Agung juga sempat memaparkan kronologis perkara Soeharto hingga akhirnya Kejaksaan memutuskan untuk bersikap. "Agar tidak menggantung nasib orang, dikeluarkan SKP3. Pengampunan, tidak. Pemaafan, tidak. Tidak ada kata pemaafan dan pengampunan di dalam SKP3" kata Jaksa Agung. SKP3 itu sendiri dimohonkan praperadilan oleh sejumlah LSM melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sementara itu, mantan Presiden Soeharto, Senin pagi sekitar pukul 10.00, mulai menjalani fisioterapi. "Hari ini mulai dilakukan fisioterapi secara pasif," kata Direktur RSPP Adji Suprajitno, Senin. Koordinator Dokter Spesialis Tim Dokter Kepresidenan Djoko Rahardjo menjelaskan, fisioterapi dilakukan untuk melemaskan anggota badan dan memperlancar peredaran darah perifer. Secara umum kondisi Soeharto lebih baik dibandingkan dengan hari sebelumnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved