Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 World Trade Organization (WTO) di Nusa Dua, Bali memasuki hari terakhir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus memantau perkembangan KTM WTO tersebut dan berharap konferensi tersebut dapat mencapai kesepakatan.
Melalui akun Twitternya @SBYudhoyono, pada Kamis (05/12), Presiden SBY mengatakan, apabila pertemuan Bali tidak mencapai hasil, yang dirugikan adalah negara miskin (Least Development Countries). namun bila KTM kali ini berhasil menyepakati Paket Bali maka akan ada tambahan perdagangan internasional sebesar US$1,2 triliun.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sebagai Ketua KTM Ke-9 WTO mengatakan, perundingan masih berlangsung alot, karena ada beberapa negara yang belum sepakat, seperti India dan Afrika Selatan.
Menurut Gita, saat ini sikap India masih belum melunak terkait dengan salah satu poin yang terdapat dalam Paket Pertanian yakni terkait dengan solusi interim stok ketahanan pangan dan juga penggunaan harga referensi tahun 1986-1988.
Gita menjelaskan, meskipun hingga Rabu (04/12) malam, mayoritas negara-negara anggota WTO mendukung untuk dibuahkannya Paket Bali, namun India masih bertahan dengan prinsip ketahanan pangan dan menginginkan adanya solusi permanen terkait hal itu. “Saya telah melakukan pembicaraan dengan Dirjen WTO, Amerika Serikat, India dan juga Uni Eropa untuk mencari solusi," katanya.
Gita mengakui bahwa tidak ada pendekatan khusus yang dipersiapkan melainkan hanya murni menjembatani kepentingan antara negara maju dan berkembang tersebut. “Tapi semuanya menyampaikan bahwa ingin keluar dari Bali dengan Paket Bali," ujar Gita.
Penyelesaian perundingan untuk menghasilkan Paket Bali masih bertahan dan belum menyetujui penerapan solusi interim stok ketahanan pangan.
Dalam negosiasi terkait dengan solusi interim tersebut, negara maju sesungguhnya telah menyetujui usulan negara berkembang untuk memberikan subsidi lebih dari 10 persen dari output nasional, namun juga memberikan jangka waktu terhadap pemberian subsidi tersebut.
Jangka waktu yang diberikan selama 4 tahun tersebut tidak diterima oleh India yang menginginkan adanya solusi permanen dan juga adanya penyesuaian harga yang lebih baru dan tidak lagi menggunakan referensi harga dari 1986-1988.
Gita menilai seluruh pihak optimis untuk bisa mendapatkan solusi permanen dalam waktu 4 tahun. Namun, India merasa harus ada jaminan langkah apa yang harus diambil jika setelah 4 tahun tidak ada keputusan permanen tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved