Prabowo dan Marcos Jr sama-sama menggunakan sentimen positif untuk memenangkan pemilihan presiden.
Ross Tapsell, professor dari Australian National University(ANU) mengatakan bahwa para pencari fakta harus mulai memindahkan fokus bahasan. Jika sebelumnya focus pada konten ujaran kebencian, kini fokusnya harus naik ke tingkat yang lebih serius lagi yaitu propaganda pemerintah.
Ross Tapsell telah melakukan riset dan membandingkan tiga negara yang sama-sama melakukan pemilu, yaitu Indonesia, Filipina dan Malaysia. Dan apa yang terjadi di ketiga negara itu tidak terlalu berbeda dalam hal kampanye calon presiden melalui media sosial.
“Banyak yang mengatakan bahwa Indonesia dan Filipina itu hampir sama dalam hal ini selama pemilu, namun ada sedikit perbedaan,” kata Tapsell.
Menurut Tapsell, kandidat presiden Filipina pada masa itu Marcos Jr menggunakan media sosial TikTok untuk menggambarkan bagaimana hebatnya pemerintahan Marcos masa lalu.
"Ini jelas disinformasi,” kata Tapsell dalam diskusi bertema “Findings and Challenges in Handling Information Disruption During the 2024 Election" di acara Indonesian Fact Check Summits, Palembang (2/52024).
Berbeda dengan di Indonesia, calon presiden Prabowo Subianto dan elit Orde Baru lainnya tidak menuliskan sejarah masa lalu seperti Marcos. Namun keduanya sama-sama menggunakan toxic positivity dalam kampanye.
Tapsell mengatakan, kampanye Prabowo adalah kebalikan dari apa yang selama ini dipahami sebagai disinformasi. Daripada menggunakan taktik kampanye negatif, kampanye ini bertujuan untuk secara konsisten membangkitkan energi positif.
Prabowo sering kali setuju dan mengucapkan terima kasih kepada lawan-lawannya selama debat, namun ia tetap menghindari wawancara dan konferensi pers yang mungkin akan membuat dia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit tentang masa lalunya atau meneliti kebijakan-kebijakannya di masa depan.
Prabowo juga mengiyakan dan tidak pernah menjelekkan pasangan lain, termasuk kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini.
“Ini menjadi tantangan untuk pencari fakta, juga mengidentifikasi kembali apa itu disinformasi. Bagaimana pendapat kita mengenai peran media sosial dalam kampanye ini, jika media sosial tidak menyebarkan disinformasi dalam bentuk yang kita kenali?” ujarnya mempertanyakan.
Indonesia Fact Checking Summit (IFCS) diselenggarakan pada Kamis, 2 Mei 2024 di Palembang. Acara yang dihadiri lebih dari 500 peserta ini diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) dan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dengan didukung Google News Initiative.
IFCS merupakan forum nasional yang mengulas tentang tren gangguan informasi, penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan dinamika ekosistem media selama pemilu 2024. IFCS di Palembang ini adalah pertemuan ketiga kalinya yang dihadiri lebih dari 500 peserta terdiri dari media, jurnalis, mahasiswa dan akademisi. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved