Meski putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) telah menyatakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dipimpin Ketua Umum Djan Farid sebagai pengurus yang sah, hingga kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly belum juga mencabut SK Kepengurusan DPP PPP kubu Romahurmuzy dan menerbitkan SK baru Kepengurusan PPP pimpinan Djan Faridz. Kubu Djan mendesak Yasonna segera memenuhi keputusan pengadilan itu, atau mereka akan menempuh langkah hukum.
Demikian dikatakan Sekjen DPP PPP Muktamar Jakarta Ahmad Dimyati Natakusumah kepada politikindonesia.com, disela-sela diskusi bertema "Keputusan MA Terkait Parpol dengan Segala Dampak Hukumnya", di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (08/12).
Dimyati yang juga anggota Komisi lll DPR RI mengaku kecewa dengan sikap Menkumham yang menunda-nunda penerbitan SK tersebut, padahal putusan kasasi yang bersifat inkrah (berkekuatan hukum tetap) telah diterimanya.
Dimyati mengatakan, pihaknya berancang-ancang untuk menggugat secara hukum sikap Menkumham tersebut. Jika dalam waktu dekat ini, Menkumham tidak juga melaksanakan putusan MA, mereka akan menggugatnya.
"Perlawanan hukum yang kami lakukan sudah sesuai dengan putusan MA yang sudah mengabulkan seluruh permohonan PPP kubu Djan Faridz.
Dikatakan, MA sudah menolak seluruh permohonan pihak termohon (PPP Romi Surabaya), seperti putusan MA No.07/11-10//2014 dan juga menolak hasil Muktamar PPP Bandung dengan segala dampak hukumnya," ungkapnya.
Dijelaskan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2/2011 tentang Partai Politik, keputusan tersebut bersifat inkrah bahwa pengurus PPP hasil Muktamar Jakarta adalah kepengurusan yang sah. Oleh sebab itu, apabila Menkumham tetap menolak mencabut SK kepengurusan PPP kubu Romi dan tidak menerbitkan SK kepengurusan untuk kubu Djan Faridz, maka Kemenkumham melakukan perbuatan melawan hukum.
"Kami tidak mau masyarakat jadi binggung karena PPP ada 2 kubu yang sama-sama butuh pengakuan hukum. Jadi, gugatan hukum yang kami lakukan sudah kami pertimbangkan semua," imbuhnya.
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar, menambahkan, ada 3 catatan terkait sengketa parpol. Pertama, demokrasi dan hukum tak bisa dipisahkan dan sebaliknya hukum tanpa demokrasi akan menjadi otoriter. Kedua, selama sengketa parpol maka Menkumham tidak bisa menerbitkan SK Kepengurusan partai, dan ketiga kalau MA sudah memutuskan maka keputusan itu sudah final.
"Jadi, SK PPP Romi harus dicabut dan menerbitkan SK Kepengurusan PPP Djan Faridz. Karena negara dan masyarakat juga tidak mungkin mengakui PPP keduanya. Seharusnya, secara berani kubu Romi harus mau mundur dan mengakui keberadaan kepengurusan Djan Faridz. Lalu mereka melebur dan bergabung menjadi satu," tuturnya.
Ficar menambahkan, jika Menkumham tidak melaksanakan putusan pengadilan itu, maka ia seharusnya dihukum dan mendapat sanksi hukum. Menkumham dapat dijerat karena melakukan penghinaan terhadap pengadilan. “Pejabat itu bisa diadukan ke atasannya, yaitu Presiden," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved