Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) menolak permintaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memanggil paksa sejumlah jenderal dalam kaitan penyelidikan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Alasannya, Komnas HAM sudah membentuk tim ad hoc yang telah melakukan rangkaian kegiatan penyidikan pro yustisia.
Oleh karena itulah, menurut pihak PN Jakarta Pusat, prosedur pemanggilan terhadap saksi-saksi yang akan didengar keterangan mereka dalam proses penyelidikan yang sedang dilaksanakan diserahkan pada mekanisme hukum acara pidana yang berlaku. Dalam hal ini, yang dipergunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Sedangkan bantuan pemanggilan paksa oleh Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 95 UU nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tidak tepat untuk diterapkan lagi sebab ketentuan tersebut hanya berlaku sebatas pelaksanaan fungsi pemantauan Komnas HAM untuk menyelidiki dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam kerusuhan Mei 1998," kata Ketua PN Jakarta Pusat Mohammad Saleh dalam keterangan pers di PN Jakpus, Senin (28/7).
Saat keterangan pers tersebut hadir anggota Komnas HAM yang juga Ketua Tim dimaksud Salahuddin Wahid dan anggota tim Enny Soeprapto. Sementara itu, Ketua PN Jakpus didampingi oleh Humas PN Jakpus Andi Samsan Nganro dan Panitera Sekretaris PN Jakpus Anton Suyatno.
Menurut Muhammad Saleh, kemudian, bertolak dari alasan yang dikemukakan dalam surat jawaban kepada pihak Komnas HAM, permintaan Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 Salahuddin Wahid untuk membantu pemanggilan paksa terhadap sejumlah jenderal antara lain mantan Panglima ABRI Jenderal (Pur) Wiranto, mantan
Pangdam Jaya Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayor Jenderal Zacky Makarim, dan mantan Panglima Kostrad Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto berdasar ketentuan Pasal 95 UU nomor 39/1995 tak dapat dipenuhi.
Setelah menerima jawaban dari PN Jakpus, Salahuddin Wahid mengaku kecewa. Kendati demikian, sepertidikutip Kompas Cyber Media, pihaknya menyatakan akan tetap melanjutkan dan menyelesaikan kasus kerusuhan Mei dengan menuntaskan pemeriksaan sejumlah saksi-saksi serta mengumpulkan bukti-bukti berupa informasi dan fakta dari hasil laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
"Tentunya kami kecewa dan tidak puas terhadap jawaban tadi tetapi kami harus menghormati jawaban itu karena hal itu merupakan wewenang sepenuhnya dari pengadilan negeri. Siapa pun tidak bisa campur tangan untuk menekan atau apa pun juga," ujar Salahuddin.
Lebih lanjut ditambahkan Salahuddin, pihaknya telah menuntaskan penyelidikan dan akan segera melimpahkan berkas penyelidikan kepada pihak Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke tingkat penyidikan.
Masih menurut Salahuddin, dengan adanya penolakan tersebut, pemanggilan sejumlah jenderal sudah tidak relevan lagi. "Rasanya tidak relevan lagi. Ini dikaitkan dengan waktu dan dikaitkan dengan upaya-upaya yang telah kami lakukan secara maksimal. Mungkin dalam KUHAP sudah diatur hal-hal semacam itu. Di sini memang terjadi perbedaan penafsiran undang-undang dan saya pikir itu hal yang wajar," kata Salahuddin.
Saat ditanya menyangkut urgensi pemanggilan sejumlah jenderal untuk dimintai keterangan, Salahuddin menandaskan," Sebetulnya ini untuk klarifikasi karena pada saat itu kita semua menyaksikan kerusuhan terjadi di mana-mana dan saksi-saksi juga banyak yang mengatakan demikian dan tidak ada tindakan dari aparat keamanan. Cuma itu sebetulnya."
Kemudian, saat ditanya apakah para jenderal berada dalam posisi pihak yang bertanggung jawab, Salahuddin mengatakan," Saya tidak pada posisi untuk menjawab itu. Kita belum sampai sana."
© Copyright 2024, All Rights Reserved