Tingkat kepuasan masyarakat terhadap 2 tahun Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang hanya 51,7 persen. Lebih rendah dibandingkan tingkat kepuasan 1 tahun Pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono yang mencapai 66 persen – 70 persan menurut hasil survei independen.
“Ini harus jadi bahan introspeksi Pemerintahan Jokowi-JK. Kami telah melakukan kajian plus minus kinerja bidang politik dan hukum 1 tahun Pemerintahan Jokowi-JK dibandingkan Pemerintahan SBY,” ujar Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Almuzzammil Yusuf kepada politikindonesia.com, Rabu (21/10).
Anggota Komisi III DPR ini mengatakan, kinerja minus pertama, adalah intervensi pemerintah dalam konflik internal partai Golkar dan PPP yang sangat kentara. Ini adalah kesalahan mendasar di bidang politik dan hukum Pemerintahan Jokowi-JK. Menteri Hukum dan HAM, ujar Muzzammil, seharusnya tidak boleh ikut campur dalam konflik internal PPP dan Golkar. Itu ranah Mahkamah Partai, Pengadilan dan Mahkamah Agung.
“Putusan MA terakhir yang memenangkan kubu ARB dan kubu Djan Farid sudah tepat. Kita harus apresiasi keputusan MA. Seharusnya Menkumham tidak boleh berpihak melainkan hanya menjalankan prosedur administrasi pengesahan partai politik berdasarkan UU Partai Politik.
Almuzzammil membandingkan, pada era SBY, pemerintah bersikap lebih moderat dan proporsional dalam menangani konflik internal partai.
Kedua, kata Muzzammil, Pemerintah Jokowi telah mengintervensi penegakan hukum. Contoh kasat mata adalah, pergantian Kabareskrim Budi Waseso disaat sedang menangani kasus korupsi kondensat, penimbunan daging sapi, Pelindo II dan Pertamina Foundation.
“Seharusnya pejabat yang memiliki terobosan, kinerja baik, dan taat pada aturan dan tugas dipertahankan. Berikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk membuktikan secara transparan bahwa apa yang dilakukannya benar-benar untuk pemberantasan korupsi. Sehingga dengan itu dapat mengangkat citra Kepolisian sebagai penegak hukum,” tegasnya.
Ketiga, terang Muzzammil, Pemerintahan Jokowi telah mempertunjukkan konflik internal kabinet yang kontraproduktif. Perbedaan pernyataan yang mencolok antara Presiden dengan Wakil Presiden, Wakil Presiden dengan Menko Maritim, Menko Maritim dengan Menteri ESDM terkait Freeport, dan Proyek Listrik 35000 MW, seharusnya tidak terjadi.
“Kasus ini menunjukan lemahnya leadership Presiden Jokowi dalam mengelola internal kabinetnya. Hal ini belum pernah terjadi di seluruh kabinet reformasi sebelumnya.”
Keempat, tambah Muzzammil, tidak harmonisnya hubungan Jokowi dengan partai pendukung utamanya. Terlihat ada tarik menarik kepentingan antara Jokowi dengan partai pendukungnya yang menyebabkan kepentingan publik terabaikan.
“Sebagai contoh kisruh dalam revisi UU KPK, pergantian Kapolri, dan program bela negara seharusnya tidak terjadi jika ada kesamaan sikap Presiden Jokowi dengan partai pendukug utamanya.”
Disisi lain, tambah dia, kita juga perlu mengapresiasi terobosan kebijakan yang positif Pemerintahan Jokowi-JK. Diantaranya, adalah kebijakan eksekusi mati terhadap bandar narkoba baik berasal dari WNI maupun WNA.
“Tujuannya untuk memberikan efek jera para bandar narkoba. Tidak boleh ada kompromi untuk para bandar. Presiden harus memimpin langsung pemberantasan bandar narkoba,” ujar politisi dari daerah pemilihan Lampung itu.
Selain itu, yang patut diapresiasi adalah penegakan hukum Pemerintahan Jokowi-JK dalam penenggelaman kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.
“Ini harus kita apresiasi. Kebijakan ini melindungi kekayaan laut kita dan mempertegas kedaulatan hukum Indonesia dalam menerapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah Indonesia.”
© Copyright 2024, All Rights Reserved