Tampaknya, kisruh dunia politik di Indonesia makin runyam saja-- Partai Golkar retak, PKB pecah, PPP serupa. Kini suasana hangat-hangat panas itu ditambah lagi oleh mundurnya Ketua Fraksi PDIP MPR RI Sophan Sophiaan dari keanggotaan MPR dan DPR.
Mundurnya Sophan Sophiaan ini seakan membenarkan sinyalemen masyarakat selama ini tentang banyaknya manipulasi politik di DPR dan praktik politik menghalalkan segala cara yang kini melanda jalannya pemerintahan di Indonesia, khususnya pada persoalan yang terjadi di lembaga legislatif dan di tubuh PDI Perjuangan.
Ditengarai, mundurnya putra politisi senior PNI Manai Sophiaan ini lantaran tak tahan menghadapi berbagai praktik-praktik politik yang ada. Terutama jika dikaitkan dengan dinamika politik di DPR dan partai-partai politik. Apalagi, saat ini publik di tanah air tengah dihadapkan pada kenyataan ‘terjegalnya’ Pansus Bulogate II untuk menyelidiki keterlibatan Akbar Tanjung dalam kasus penyimpangan dana non bujeter Bulog sebesar Rp 40 Milyar.
Dalam hal ini, sikap Fraksi PDIP di DPR memang terkesan menahan laju terbentuknya Pansus tersebut. Singkatnya, sikap fraksi PDIP tidak jelas. Ketua Fraksi PDIP Roy BB Janis bicara keras, ingin maju terus. Sementara Taufik Kiemas malah bermanuver untuk menggagalkan terbentuknya Pansus. Sudah menjadi pengetahun publik, bahwa Taufik Kiemas (suami Megawati) ini memiliki pengaruh besar dalam menentukan garis kebijakan PDIP.
"Saya pada akhirnya menyadari saya bukan politisi. Saya manusia biasa yang mempunyai sikap hitam putih, sedangkan politik itu sendiri the art of possibilities. Yang salah bisa dibenarkan, yang benar bisa disalahkan. Saya tidak bisa begitu. Salah, ya, salah. Benar, ya, benar," kata Sophan Sophiaan.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Pare-pare Sulawesi Selatan ini melihat konstelasi politik nasional semakin meninggi dan ia mengaku tidak mampu beradaptasi. Sophan menolak memberikan contoh kasus apa sebenarnya yang akhirnya membuat ia mengambil keputusan mengundurkan diri secara sepihak. Sebelumnya, putra politisi senior PNI Manai Sophiaan juga pernah mengajukan pengunduran dirinya sebagai Ketua F-PDI Perjuangan menjelang Sidang Tahunan MPR tahun 2001, namun tidak disetujui Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Menurut cerita yang beredar dikalangan terbatas PDIP, Sophan memang ‘gerah’ dengan kekuasaan Taufik Kiemas di PDIP maupun di DPR. Stigma yang dilekatkan pada kesaktian TK, begitu biasa ia disapa, bak sabda pandita ratu bagi politisi PDIP di DPR dan di DPP.
Suami aktris Widyawati ini juga kesal dengan keputusan (?) Megawati Soekarnoputri, yang kabarnya dipengaruhi sangat kuat oleh suaminya, untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan kasus dana nonbudgeter Badan Urusan Logistik (Bulog) yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tandjung. Padahal, sebagian besar anggota F-PDIP sejak awal meminta agar Panitia Khusus (Pansus) Bulog tetap dibentuk.
Cerita soal latar belakang mundurnya Sophan tadi, seakan mendapat pembenaran ketika dikonfirmasikan kepada politisi senior PDIP Aberson Marle Sihaloho. Menurut Aberson para anggota Fraksi PDIP di MPR dan DPR tidak bisa berpolitik menurut hati nurani, karena anggota FPDIP sudah menandatangani pernyatan di atas kertas bermaterai, bahwa mereka hanya berkewajiban untuk menjalankan garis partai.
"Kita diharuskan menandatangani di atas kertas bermeterai Rp6.000. Isinya, kita harus menjalankan garis partai. Jika tidak, akan diambil tindakan. Artinya, kita bukan menjalankan hal yang benar, tapi melaksanakan perintah partai. Kita bukan wakil rakyat, tapi wakil partai," kata Aberson.
Ketua Umum DPP PDIP Megawati yang juga Presiden RI, kata Aberson, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa anggota F-PDIP adalah wakil partai karena yang dipilih dalam pemilu adalah tanda gambar partai. Sebagai konsekuensi sebagai wakil partai, maka anggota PDIP di legislatif tidak boleh mengikuti hati nurani. Karena itulah, Sophan mengundurkan diri dari keanggotaannya di MPR dan DPR.
Menurut Aberson, ada dua hal pokok yang mendorong Sophan mengundurkan diri, yakni menyangkut Komisi Konstitusi dan Pansus Buloggate II.
Soal Komisi Konstitusi, kata Aberson, ketika itu Jacob Tobing dan kawan-kawan di Badan Pekerja MPR menyetujui pembentukannya tanpa konsultasi dengan Sophan selaku Ketua F-PDIP MPR. Ternyata, kata dia, pembentukan Komisi Konstitusi itu tidak jadi dilaksanakan karena partai mengakomodasi kepentingan kelompok dan golongan lain.
Begitu juga menyangkut Pansus Buloggate II. Aberson menjelaskan, dalam rapat intern fraksi dua pekan lalu, dirinya berbicara mengenai pentingnya pembentukan pansus. Sebab, katanya, pansus itu bukan hanya menyelidiki penyelewengan dana Rp54,6 miliar yang terkait kasus Rahardi Ramelan dan Akbar Tandjung, tapi keseluruhan penyelewengan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp2,9 triliun pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie mulai Mei 1998 hingga 31 Desember 1999.
"Kalau pansus jadi dibentuk, yang pertama kali dipanggil adalah Habibie," kata Aberson.
Dalam rapat intern itu, disepakati pembentukan tim kecil. Tapi, dalam perjalanannya, tim itu hanya disuruh untuk mengumpulkan data, bukan menyusun pokok pikiran fraksi berkaitan disetujuinya pembentukan Pansus Buloggate II. Tampaknya, sikap partai mundur dalam soal pembentukan pansus.
"Partai ini tidak mau menegakkan kebenaran, sehingga Sophan memilih mengundurkan diri," kata Aberson.
Namun, walau mundur dari MPR/DPR, Sophan memang mengaku tetap akan jadi anggota PDIP. "Saya ini orang pasrah. Saya orang fatalis. What ever will be will be depend to God," katanya.
Pada konteks pengunduran diri Sophan itu, seakan mensiratkan pesan sakral, yakni agar para elit politik di Tanah Air bisa menggunakan moralitas dalam berpolitik. Sophan sudah mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dia anggap benar. Semoga semakin banyak elit politik dan pemerintahan di Indonesia yang menggunakan nuraninya dalam menjalankan mandat yang diberikan rakyat yang kini sedang kesusahan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved