Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menepis tudingan bahwa penangkapan H Ibrahim dan pengacara Adner Sirait melanggar hukum. KPK menegaskan keduanya dalam status tertangkap tangan sehingga UU Komisi Pemberantasan Korupsi berlaku khusus untuk penangkapan dan penahanan.
Meski Ibrahim adalah hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta, penangkapannya tetap tunduk pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Demikian intisari yang diajukan penasihat hukum KPK dalam sidang lanjutan permohonan praperadilan yang diajukan Ibrahim di PN Jakarta Selatan, Selasa (11/05).
Staf Biro Hukum KPK Ferri Son Jaya Pasaribu menegaskan, dalam menjalankan tugas para penyidik KPK merujuk pada pasal 6 huruf c UU KPK. Berdasarkan paying hukum ini, KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. KPK menyelidiki kasus yang menjerat Ibrahim dan Adner berdasarkan pengaduan masyarakat.
Setelah KPK menelusuri informasi, Ibrahim dan Adner tertangkap tangan. Keduanya diduga melakukan ‘transaksi’ untuk memuluskan perkara klien Adner yang sedang ditangani majelis PTTUN Jakarta. Hakim Ibrahim adalah ketua majelis yang menangani kasus itu.
Setelah mengangkap pemohon praperadilan, terbit surat perintah penyidikan disertai perintah penahanan, pada 30 Maret lalu. Penyidik KPK menemukan indikasi kuat Ibrahim melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, yang berlaku adalah paying hukum mengenai korupsi, bukan UU Pengadilan Tata Usaha Negara, yakni pasal 26 UU No. 9 Tahun 2004. KPK berpandangan tak ada pelanggaran hukum dalam penangkapan dan penahanan Ibrahim.
Sebelumnya, pengacara Ibrahim memang menggunakan argumentasi penggunaan UU PTUN. Dalam pasal 26 UU No. 9 Tahun 2004 dirumuskan bahwa penangkapan dan penahanan hakim hanya dapat dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali tertangkap tangan, disangka melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati, atau disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Pengacara mempersoalkan izin Jaksa Agung dan Ketua MA.
Menurut KPK, pasal 26 menegaskan pengecualian terhadap mereka yang tertangkap tangan. “Meskipun termohon melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seorang hakim termohon tidak tunduk pada UU PTUN sesuai dengan fatwa Makhamah Agung No.KMA/694/RHS/XII/2004 tanggal 3 Desember 2004 yang mana menyebutkan ketentuan dalam menjalankan kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan ketentuan khusus,” papar Ferri.
Argumentasi lain pengacara Ibrahim adalah pemohon berdalih tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan termohon mengindahkan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran itu terjadi karena saat ditahan, pemohon sedang menderita gagal ginjal dan mesti mendapat perawatan intensif. Pemohon menilai tindakan termohon tanpa dasar tidak memperhatikan keondisi kesehatan pemohon dengan mencabut pembantaran penahanan terhadap pemohon.
Menjawab tudingan itu, KPK mengatakan bahwa Ibrahim sudah dibawa berobat begitu mengeluhkan sakit. Hasil pemeriksaan dokter di Rumah Sakit Polri menyimpulkan Ibrahim telah menjalani perawatan dan bisa berobat jalan. Ibrahim harus cuci darah dua kali sepekan.
KPK telah berupaya menjalankan anjuran RS Polri agar pemohon mendapatkan perawatan berobat dengan biaya ditanggung termohon. “Termohon berpendapat alasan pemohon tentang tidak sahnya penangkapan dan penahanan adalah tidak benar dan keliru karena serangkaian tindakan baik yang dilakukan termohon telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujarnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved