KODE etik merupakan pedoman tingkah-laku, atau peraturan, yang harus diikuti, dan ditaati oleh anggota-anggota suatu komunitas tertentu. Kode etik juga didefinisikan sebagai norma dan asas, yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.
Kode etik antara lain berfungsi sebagai sarana untuk mengendalikan perilaku sosial. Berfungsi sebagai alat untuk menghubungkan antara nilai-nilai dibandingkan dengan norma-norma yang digunakan dalam masyarakat, atau profesi tertentu.
Juga berfungsi sebagai pembeda antara perilaku yang baik dibandingkan perilaku yang buruk. Berfungsi untuk mencegah campur tangan pihak lain, yang dapat merugikan, maupun untuk mencegah dari kesalahpahaman dan konflik.
UU 7/2017 tentang Pemilu Pasal 155 ayat (2) menyatakan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU provinsi, anggota KPU kabupaten/kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu provinsi, dan anggota Bawaslu kabupaten/kota.
Pasal tersebut tidak secara eksplisit ditujukan untuk dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPU, yang ada adalah pelanggaran oleh anggota KPU. Dalam hal ini posisi antara Ketua KPU dibedakan dengan anggota KPU.
Kode etik pada Pasal 157 digunakan oleh DKPP untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, KPPSLN, serta anggota Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Panwaslu kelurahan/desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS. Akan tetapi Pasal 157 tidak menyebutkan penjagaan kemandirian, integritas, dan kredibilitas dari Ketua KPU, melainkan diberlakukan untuk anggota KPU.
Selanjutnya, peraturan DKPP 2/2017 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu pada Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa integritas penyelenggara pemilu berpedoman pada prinsip (a) jujur, (b) mandiri, (c) adil, (d) akuntabel.
Kemudian pada ayat (3) menyatakan bahwa profesionalitas berpedoman pada prinsip: (a) berkepastian hukum, (b) aksesibilitas, (c) tertib, (d) terbuka, (e) proporsional, (f) professional, (g) efektif, (h) efisien, dan (i) kepentingan umum.
Persoalannya kemudian tindakan kejahatan terhadap kesusilaan sama sekali tidak diatur dalam kode etik perilaku penyelenggara pemilu. Dalam hal ini urusan kode etik tidak dimaknai secara sama sebangun dengan etika.
Etika seringkali tidak dinyatakan secara tertulis, namun diyakini sebagai suatu pelanggaran, jika seseorang atau suatu masyarakat dinilai telah terbukti melanggar etika, baik etika secara tertulis maupun etika yang tidak dituliskan.
Berbeda halnya dengan kode etik, yang menghendaki ditulis sebagai sebuah peraturan secara tertulis. Itu, guna dipakai sebagai pedoman dalam menilai terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam kode etik.
Kemudian jika etika seringkali dipandang berkedudukan lebih tinggi dibandingkan undang-undang dan peraturan di bawahnya sebagai bentuk kesepakatan yang seringkali tidak tertulis, atau hukum yang tidak selalu dituliskan, akan tetapi kode etik senantiasa dirumuskan dan dinyatakan secara tertulis maupun bersifat terbuka untuk diketahui oleh khalayak umum.
Kemudian yang menjadi pokok persoalannya adalah pertama, apakah DKPP berwenang dan kompeten untuk mengadili apa-apa yang tidak tertulis sebagai sebuah pelanggaran kode etik yang dipraktekkan oleh penyelenggara pemilu.
Kedua, tanpa keputusan pengadilan yang bersifat tetap, apakah DKPP berwenang dalam mempraktikkan diskresi berupa merekomendasikan untuk menjatuhkan pelaksana pelanggaran berat kepada Ketua KPU mengenai urusan di luar ranah kode etik sebagai penyelenggara pemilu.
Terlebih sudah ada Undang-Undang yang mengatur secara tertulis dan tegas tentang sanksi terhadap pelanggaran perbuatan cabul dan kejahatan terhadap kesusilaan/tindak pidana kesusilaan. KUHP menetapkan sanksi yang tegas untuk kedua pelanggaran tersebut. Demikian pula dengan UU 1/2023 tentang KUHP yang akan diberlakukan sejak tahun 2026.
Persoalannya berlanjut dengan DKPP tidak membuat peraturan atau hak jawab dari penyelenggara pemilu, maupun hak banding, melainkan kekuatan peraturan bersifat mengikat dan final. DKPP juga tidak mempunyai lembaga pengawasan.
Sebenarnya persoalan sudah selesai ketika Ketua KPU sudah menerima Keputusan DKPP, namun sebagaimana Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang mengeluarkan diskresi, namun tidak melaksanakan semua peraturan yang telah diputuskan oleh MK.
Oleh karena itu, persoalan pelanggaran kode etik dapat dijadikan pintu masuk yang sempurna untuk menjatuhkan suatu jabatan seperti Ketua KPU dan Ketua MK selama tidak ada peraturan kode etik yang ditulis tentang hal itu secara tertulis dan terbuka, namun dapat divonis sebagai suatu pelanggaran berat dari kode etik.
Diskresi dalam bentuk menunjuk pelaksana tugas Ketua KPU, agar Pilkada berjalan sesuai jadwal sesungguhnya adalah salah satu solusi. Akan tetapi apakah seorang pelaksana tugas yang tidak dilantik sebagai Ketua KPU mempunyai kewenangan yang serba sama dan sebangun dibandingkan sebagai Ketua KPU yang sudah dilantik.
Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang akan menentang tentang kejahatan pidana perbuatan cabul dan kejahatan kesusilaan, namun hendaknya pembuktian tersebut dipraktekkan oleh pengadilan pidana aduan, melainkan bukan oleh DKPP. []
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved