POLITIKUS Akbar Faisal dalam suatu kesempatan pernah mengatakan “Ada yang bilang bahwa kementerian yang terkenal rumit adalah kementerian yang memikirkan bagaimana membangun dan merawat infrastruktur jalan dari Aceh hingga Papua. Ada juga yang bilang kementerian dengan tugas kompleks adalah yang fokusnya mengurusi isu pertahanan, alusista dan tentara. Tetapi ada satu kementerian yang paling rumit sedunia menurut saya, karena mengurusi mulai dari bagaimana ukhuwah bertetangga, hingga mengurusi urusan ibadah massal (haji)”.
Tanpa perlu memahami sosio antroplogi masyarakat Indonesia, siapa pun akan dengan mudah mengafirmasi pendapat di atas.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius. Hal-hal menyangkut agama dan bersifat keagamaan menjadi kegiatan inti (core bussiness) Kementerian Agama (Kemenag).
Suatu antesedens yang memungkinkan Kemenag menggandakan sifat vertikalitasnya, baik dari sudut pandang struktural maupun fungsional; Dari urusan personal-formal-fundamental (seperti pernikahan), hingga urusan komunal-krusial-substansial seperti membina kerukunan umat beragama hingga tentu saja urusan penyelenggaran haji.
Dari sekian tugas yang menjadi tanggung jawab Kemenag jelas yang terakhir ini yang menyita perhatian seluruh pihak setiap tahunnya.
Keberhasilan di Tengah Kerumitan
Karena bersifat komunal, maka penyelenggaran ibadah haji menjadi kegiatan yang menuntut energi serta kerjasama lintas sektoral dengan pengorganisasian dan kalkulasi teknis ekstra.
Membayangkan tugas berat yang dipikul Kemenag sebagai leading sector penyelenggaran haji dengan capaian keberhasilan penyelenggaraan haji di tahun 2024, tentu merupakan sesuatu yang membanggakan.
Berbagai inovasi (fast track, murur, smartcard) dan skema layanan prima yang diinisiasi oleh Kemenag dibawah pimpinan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut/Gusmen) yang dipentaskan dalam penyelenggaraan haji tahun 2024, terbukti membuahkan hasil yang memuaskan di mata semua kalangan.
Berbagai tragedi yang kerap dialami dalam penyelenggaran haji di tahun-tahun sebelumnya juga dapat dihindari.
Angka kematian jamaah haji asal Indonesia juga turun 40 persen dibanding tahun sebelumnya. Tagline Haji Ramah Lansia dipertahankan secara konsisten dan diterapkan di lapangan secara faktual melalui tangan-tangan terampil petugas haji.
Siapa pun tentu tidak seharusnya menutup mata atas keberhasilan penyelenggaraan haji tahun ini. Bahkan di tengah kuota haji Indonesia mengalami peningkatan yang menjadikannya terbanyak sepanjang masa, pemerintah tetap berhasil melaksanakan keseluruhan tahapan sesuai harapan dan tanpa kendala berarti.
Apresiasi dari berbagai pihak mengalir deras. Sulit untuk dibendung. Gus Yaqut tidak menepuk dada. Menag mengarahkan telunjuk pada para petugas dan panitia haji yang dinilainya telah melayani secara maksimal.
Kita seperti diperingatkan untuk jangan memujinya secara langsung, apalagi di hadapan publik. Ia cenderung biasa saja ketika dipuji. Entah karena terbiasa menikmati kritik atau karena seringnya dicerca.
Gus Yaqut seperti lupa menyikapi pujian yang sebenarnya sangat layak diterimanya. Ini pandangan pribadi saya. Mungkin subjektif. Tetapi bahkan pendengaran serta penilaian seseorang tentang orang lain senantiasa memiliki perbedaan. Tergantung siapa pendongengnya. Saya hanya berupaya menyatakan ini secara terbuka.
Sebagaimana halnya mantan Ketua Komisi VIII Yandri Susanto yang terang-terangan memuji Gus Yaqut yang memilih bergeming tatkala usulan kenaikan biaya haji Kemenag di tahun 2023 banyak dikritik dan digoreng publik. Padahal usulan itu semata diarahkan untuk keseimbangan dan keberlangsungan nilai manfaat jangka panjang.
“Saya mengapresiasi keberanian Menag untuk tidak populer. Menag membuka mata Indonesia bahwa ada persoalan serius dalam penyelenggaran haji kita," kata Yandri.
Kini, di saat keseluruhan rangkaian pelaksanaan haji 2024 sudah rampung, Gus Yaqut tetap memberi intruksi kepada Direktorat Haji, panitia, dan berbagai pihak terkait untuk fokus melakukan evaluasi serta perbaikan ke depannya.
Urusan politik menjadi urusannya. Dia tegaskan itu sejak gelombang pertama kedatangan haji tiba di Tanah Air. Sedari awal dia menyadari bahwa ada pihak yang hendak menyoroti retakan kecil di permukaan tembok raksasa.
Padahal yang namanya kegiatan besar macam penyelenggaraan haji tidak mungkin sempurna 100%.
Kilasan Sejarah
Selain itu, dalam catatan sejarahnya, pelaksanaan ibadah haji selalu menjadi peristiwa yang menghadirkan tantangan tersendiri dengan permasalahan tersendiri yang asal usulnya dapat dilacak sejak masa kolonial.
Memang semula pemerintah kolonial melekatkan persepsi negatif terhadap para jemaah haji yang identik dengan kaum revolusioner.
Henk Schulte Nordholt dalam karyanya berjudul Outward Appearances menjelaskan pemerintah kolonial sempat berusaha mempersulit orang-orang untuk beribadah haji dan melarang penggunaan titel haji serta berbagai atribusi lainnya.
Namun persoalan menjadi kian rumit, terutama ketika rasio peningkatan jumlah jamaah menjadi semakin besar pada awal abad 20.
Sejak itu, pemerintah kolonial mulai menghadapi berbagai persoalan yang tidak kalah memusingkan dari sekedar ancaman perlawanan.
Persoalan itu berkenaan dengan ihwal mobilisasi jemaah, pengadministrasian (surat jalan haji), penyiapan moda transportasi, pemilihan biro perjalanan, pengaturan konsumsi selama perjalanan, dan pemantauan kesehatan jamaah.
Problem yang dihadapi para jemaah di antaranya ialah terbengkalai di perjalanan, kekurangan konsumsi, perbudakan di kapal dan menderita berbagai macam penyakit yang membuatnya meninggal di tengah perjalanan.
Cerita-cerita tentang berbagai upaya terkait manajemen penyelenggaraan pada musim haji selalu menjadi tajuk utama pemerintah pada masa-masa selanjutnya.
Aspek efisiensi, efektivitas layanan, pelindungan dan keadilan dalam berhaji menjadi masalah laten yang yang sulit diselesaikan sejak masa Orde lama, Orde Baru hingga masa awal reformasi.
Bahkan dalam masa yang tidak terlalu jauh, temuan terkait masalah minimnya profesionalitas masih menghantui penyelenggaraan haji di Indonesia, seperti terjadi di tahun 2006 ketika terdapat sekitar 30.000an jemaah yang gagal berhaji, dan tahun 2008 ketika hampir 200.000 jemaah mengalami kelaparan akibat permasalahan katering.
Sulit Dimengerti
Bila kita mau rajin untuk sedikit memotret sejarah penyelenggaran haji sejak era kolonial sampai masa reformasi, maka kita akan menyadari betapa beratnya tugas tersebut.
Kita juga lebih dari sekedar patut untuk mengapresiasi serangkaian kerja keras serta terobosan Kemenag dan kementerian terkait yang memberikan layanan maksimal terhadap seluruh jamaah haji tahun ini.
Karena itu jangan aneh bila pembentukan Panitia Khusus Haji (Pansus Haji) dengan masa jabatan anggotanya yang akan segera purna ini dinilai sarat kepentingan.
Kepentingan memang mampu menyempitkan penglihatan tentang capaian keberhasilan, tidak terkecuali penyelenggaran haji 2024.
Sejumlah tokoh bahkan telah mewanti-wanti untuk tidak memanfaatkan Pansus Haji sebagai alat untuk menyudutkan Menag. Ini antara lain datang dari Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Sementara Koordinator Staf Khusus Menag yakni Abdul Rochman (Gus Adung), yang dalam pengamatan saya terlihat sebagai sosok kalem ini pun akhirnya keluar dari pertapaannya.
Gus Adung memberi klarfikasi bahwa Kemenag memprioritaskan jemaah lansia sebanyak 5 persen dari kuota normal haji.
Klarifikasi ini dikeluarkan setelah sebelumnya ada lontaran dari politisi yang menganggap Kemenag tidak memprioritaskan jemaah lansia.
Tanggapan berbagai tokoh, utamanya yang tidak berkepentingan secara politik pasti layak didengar sebagai bagian pertanyaan tentang mengapa Pansus Haji sedemikian krusial sehingga menihilkan peluang membentuk Pansus Judi Online atau perlindungan data pribadi atau Pansus Pinjol yang bersifat mendesak dan sangat erat dengan urusan rakyat kecil?
Mengapa mempersoalkan tenda di beberapa titik seperti Arafah yang dari aspek luas area, jumlah dan ukuran tendanya tidak berubah?
Selain itu detail lain yang berusaha diketengahkan oleh Pansus Haji soal kuota tambahan sebanyak 20.000 sebenarnya sangat bisa ditabayunkan oleh Komisi VIII DPR dan Kemenag.
Ihwal menyangkut Kemenag yang mempunyai tafsir tersendiri atas kuota tambahan yang dihitung dari kuota pokok pun oleh DPR juga sangat bisa dibicarakan secara santai.
Sebagaimana sejak Maret lalu dijelaskan oleh Menag tentang pembagian kuota reguler dan kuota khusus yang dibagi rata dengan tinjauan yang menyasar kenyamanan dan keselamatan jemaah.
Satu-dua kekurangan sangat potensial terjadi dalam kegiatan besar macam penyelenggaran haji. Tetapi sedikit kekurangan jangan digebyah uyah atau dipars pro totokan untuk menggambarkan kekurangan secara keseluruhan.
Apalagi bila harus mengubur ratusan capaian keberhasilan penyelenggaraan haji di tahun 2024 dengan secomot kekurangan lewat pembentukan Pansus Haji. Ini sungguh sukar dimengerti, sarat kepentingan, sekaligus ironi terbesar bagi wakil rakyat kita saya bisa tambahkan.
*Penulis Adalah lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
© Copyright 2024, All Rights Reserved