Selama lima tahun reformasi penegakan hukum sama sekali tidak berjalan. Sebaliknya, penegakan hukum sangat bersifat diskriminatif dan tergantung pada harta kekayaan yang dimiliki serta kedudukan seseorang. Kepastian hukum sama sekali tidak diperhatikan. Karakter politik selama reformasi juga tidak beda dengan karakter politik Orde Baru.
Demikian antara lain benang merah yang bisa ditarik dari seminar bertajuk "Lima Tahun Reformasi, Sampai di Mana Kita" di Jakarta, awal pekan ini. Pembicara yang tampil dalam seminar yang diselenggarakan Kelompok Tempo Media bekerja sama dengan {Freedom Institute} itu adalah pakar hukum Nono Anwar Makarim, sosiolog Ignas Kleden, pengamat politik Andi Malarangeng, pengamat ekonomi M Chattib Basri dan Rizal Malarangeng sebagai moderator.
Nono Anwar Makarim menjelaskan, pada dasarnya reformasi hukum bertujuan menciptakan kepastian hukum. Tetapi selama lima tahun reformasi, kepastian hukum sama sekali tidak tercipta. Tidak adanya kepastian hukum akibat pandangan para politisi yang sempit bahwa reformasi hukum identik dengan menghasilkan undang-undang sebanyak mungkin.
Hal itu, lanjutnya, merupakan konsekuensi logis dari sistem hukum yang dianut Indonesia. "Konsekuensi logis tersebut lahir dari suatu memori kolektif yang panjang akan diktatur yang dijalankan melalui pembuatan peraturan hukum," jelasnya.
Pada bagian lain dia mengemukakan, sistem hukum di Indonesia terlalu birokratis. Cirinya terlalu banyaknya prosedur hukum yang harus ditempuh sebelum sebuah masalah ditangani.
Dengan pola semacam itu, sebuah kejahatan tidak dianggap sudah terjadi kalau kepala kepolisian belum menerima laporan.
"Padahal sebuah kejahatan sudah terjadi tapi saat ditanya, kepala kepolisian dengan gampang menjawab saya belum menerima laporan," imbuhnya.
Sayangnya, tidak ada upaya baik dari pemerintah maupun non pemerintah untuk memperbaiki sistem serta kebobrokan hukum seperti itu ke arah sistem hukum yang lebih positif. Karena itu, perbaikan ke arah sistem hukum yang lebih baik harus dilakukan sedikit demi sedikit.
Sementara itu, Ignas Kleden melihat selama reformasi ini substansi politik Indonesia belum berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak. Sebaliknya, kepentingan politik masih tetap lebih berat pada kepentingan negara.
"Kekuatan-kekuatan civil society yang berhasil memaksa Presiden Soeharto turun dari tahta kekuasaannya, dipotong kekuatan politik yang cenderung mengembalikan ketergantungan pada negara," kata Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur itu.
Hal tersebut terjadi karena hidup matinya partai-partai politik di Indonesia masih sangat tergantung pada negara. Biaya-biaya partai tidak bergantung pada iuran para anggotanya, melainkan sangat bergantung pada anggaran negara.
Bukti bahwa substansi politik selama reformasi masih berorientasi kepada negara adalah isu stabilitas nasional pada masa Orde Baru saat ini diganti isu keutuhan teritorial negara.
"Masalah GAM di Aceh dianggap jauh lebih gawat secara nasional dibandingkan dengan masalah konflik Maluku yang sampai sekarang sudah menelan kor ban 10.000 jiwa lebih," imbuhnya.
Selain itu, negara lebih menekankan kewajiban warga negaranya dari pada kewajiban negara terhadap warga negara. Contohnya, negara menekankan supaya rakyat harus membayar pajak sementara negara tidak memberi tunjangan terhadap pengangguran. Contoh lain, rakyat diwajibkan membayar listrik tetapi tidak mendapat ganti rugi kalau listriknya sering mati.
Andi Malarangeng berpendapat, memperbaiki karakter kekuasaan Orde Baru tidak hanya bisa dilakukan dengan mengganti orang per orangan atau partai politik yang berkuasa saja. Bisa jadi orang-orang dan partai politik yang berkuasa itu hanya berganti baju tetapi tetap berpola Orde Baru. Karena itu, pola dan karakter kekuasaan Orde Baru hanya bisa diganti dengan demokratisasi dan desentralisasi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved