Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai, telah terjadi maladministrasi dalam eksekusi mati yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap warga negara Nigeria, Humprey Ejike Jefferson.Ombudsman menilai, eksekusi mati yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuang yang berlaku.
"Ombudsman RI menyimpulkan bahwa eksekusi yang dilakukan terhadap Humprey Ejike Jefferson, tidak sesuai dengan ketentuan," terang Komisioner ORI Ninik Rahayu di Gedung Ombudsman, Kuningan, Jakarta, Jumat (28/07).
Ninik membeberkan, eksekusi mati terhadap Humprey seharusnya ditunda oleh Kejagung. Hal ini mengingat, Humprey sedang mengajukan grasi yang diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2002.
Bahkan, Humprey juga sempat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kedua. Namun permohonan PK tersebut tidak diteruskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Mahkamah Agung (MA).
“Dalam Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi disebut, eksekusi tidak dapat dilakukan sebelum keputusan Presiden tentang grasi," terang Ninik.
Berbeda dengan dua terpidana mati lainnya, Eugene Ape dan Zulfiqar Ali, PK kedua mereka ditindaklanjuti PN Jakarta Pusat. "Berkas perkara PK kedua Eugene Ape dan Zulfiqar Ali diteruskan PN Jakarta Pusat, tapi tidak demikian pengajuan yang dilakukan kuasa hukum Humprey. Ini menunjukkan perlakuan diskriminasi," ujar Ninik.
Humprey merupakan terpidana mati atas kasus kepemilikan heroin seberat 1,7 kilogram. Ia ditangkap di Depok, Jawa Barat pada 2003. Pria asal Nigeria itu lalu dihukum hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Humprey pun mengajukan kasasi, namun tetap ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Kemudian Peninjauan Kembali yang diajukan pada 2007 pun lagi-lagi ditolak MA.
Humprey Ejike Jefferson alias Doktor telah dieksekusi mati. Dia sempat mengajukan grasi atau pengampunan kepada Presiden Joko Widodo jelang eksekusi mati. Namun, upaya tersebut ditolak.
© Copyright 2024, All Rights Reserved