Zaman sudah berubah dan serba terbuka. Posisi perempuan di berbagai aspek pun menjadi pusat perhatian. Sejauh ini, sudah ada perubahan, tapi belum menyentuh pada tahapan yang subtantif. Persoalan mendasar, misalnya, peran perempuan di sektor publik sudah meningkat, namun posisinya masih tetap sebagai {the second sex}.
Perlu diakui, memang sulit menciptakan kehidupan masyarakat yang sensitif gender, bila budaya patriakis masih sangat kuat melekat di tubuh masyarakat itu sendiri. Anggapan tentang ‘haramnya’ dunia politik bagi perempuan pun terlanjur menyebar dan ironisnya lagi masih banyak perempuan yang terjebak dengan pandangan tersebut.
Hal ini pula lah yang menyebabkan minimnya representasi perempuan terjun ke dunia politik, khususnya di badan parlementer. Meski jumlah perempuan di parlemen kian bertambah, hal ini tidak lantas memperbaiki taraf kehidupan mayoritas perempuan kita yang termarjinal.
Di sisi lain, Departemen Pemberdayaan Perempuan sendiri tidak peka menganggapi isu-isu-isu gender dan perempuan yang tengah membumi di negeri ini. Menterinya sendiri seolah-olah tidak berdaya menanganinya.
Untuk mendalami persoalan politik dan perempuan di Indonesia, berikut wawancara Politikindonesia.com dengan Nursyahbani Katjasungkana yang dikenal sebagai aktivis perempuan di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili Utusan Golongan.
{Hingga kini, masih kuat melekat anggapan bahwa dunia politik bukan sesuatu yang layak digeluti, bagaimana seharusnya menyikapi hal ini?}
Memang secara historis hal tersebut memang memunculkan doktrin tersendiri bagi para perempuan menganai posisi dan perananya. Doktrin itu sendiri sebenarnya akibat sosiologi gender yang secara historis juga selalu menempatkan perempuan pada tingkatan domestik saja. Tentunya, hal ini sangat merugikan kaum perempuan, namun ironisnya lagi masih banyak sekali perempuan yang menerima hal ini, bahkan sampai harus menerimanya karena pengaruh budaya lingkungan sekitarnya.
{Kaum perempuan butuh sesuatu yang dapat membuka kesadaran baru untuk dapat menerima politik sebagai suatu wawasan?}
Bukan sekedar wawasan saja. Kesadaran politik secara umum juga dibutuhkan perempuan untuk lebih peka terhadap persoalan-persoalan publik yang bisa mempengaruhi sektor domestik.
{Bagaimana menumbuhkan kesadaran politik tersebut terhadap perempuan?}
Banyak cara untuk menumbuhkan kesadaran politik bagi perempuan. Peranan media sebenarnya sangat signifikan sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran sekaligus media pembelajaran bagi perempuan mengenai politik, misalnya, tentang lembaga kenegaraan, partai politik dan lainnya.
{Bagaimana kualitas kesadaran perempuan dalam berpolitik?}
Sebenarnya tanpa disadari kaum perempuan sudah memiliki kesadaran berpolitik. Hanya saja batasan-batasan yang berlaku bagi perempuan berimplikasi kepada kesadarannya mengenai politik. Protes mengenai harga sembako naik, dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu sudah merupakan kesadaran perempuan dalam berpolitik dan itu juga merupakan tindakan politik.
{Masih perlu pendidikan politik terhadap perempuan?}
Tentu saja perlu. Sebagai tahapan awal tentunya politik secara umum seperti yang saya sebutkan tadi tentang kelembagaan negara, pemerintahan, persoalan-persoalan negara, dan yang lainnya. Disinilah media memainkan peranannya, namun yang lebih signifikan tidak ada lagi batasan-batasan untuk perempuan menjalankannya, karena batasan budaya dan hukum yang selama ini menjadi kendala bagi perempuan untuk bisa bergerak bebas.
{Peran perempuan di dunia politik saat ini?}
Kembali ke persoalan politik yang masih tabu bagi perempuan tadi, masih sangat jauh sekali memperoleh kemajuan yang subtantif. Namun hal ini jauh lebih baik dibanding masa-masa sebelumnya, perempuan di bangku parlemen misalnya secara kuntitas bertambah dan ini suatu kemajuan bagi perempuan.
{Perempuan yang duduk di bangku parlemen sudah cukup aspiratif menyuarakan kepentingan-kepentingan perempuan?}
Persoalan aspiratif adalah perjuangan yang tidak habis-habisnya. Setelah keruntuhan rezim Orde Baru , perempuan-perempuan di parlemen sebenarnya memulai langkah baru menuju tahapan yang lebih baik memperbaiki kondisi perempuan. Dan ini butuh proses yang panjang.
{Kekerasan politik apa yang sering dihadapi perempuan, khususnya di kursi parlemen?}
Kalau di parlemen mungkin indikasinya ke arah saling mendeskreditkan, intimidasi terhadap anggota parlemen perempuan juga sering ditemui, hal inilah yang harus teguh kita hadapi.
{Apa karena citra perempuan selama ini yang dianggap masih jauh dari harapan?}
Ya…dan sangat sukar sekali menghilangkan hal tersebut, dimana para lelaki sudah apriori dengan kemampuan perempuan yang menilai tidak mampu memberikan-keputusan subtantif terhadap persoalan-persoalan negara dan tidak memahami ide-ide kenegaraan.
{Bagaimana kualitas perempuan di kursi parlemen, sudah cukup memadai untuk mewakili perempuan?}
Berbicara kualitas nampaknya belum, yang saya lihat mereka kurang gigih saja memperjuangkannya, namun kehadiran mereka juga membuat pemerintah jauh lebih {concern} memandang persoalan-persoalan perempuan sekarang ini, seperti baru-baru ini kita menyodorkan undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan cukup memperoleh tanggapan serius dari pemerintah.
{Pemerintahan Presiden Megawati sudah cukup baik menanggapi persoalan-persoalan dan kepentingan-kepentingan perempuan?}
Semua butuh waktu memperbaiki kondisi kompleks seperti itu, tapi paling tidak keadaan perempuan sekarang lebih baik dari sebelumnya, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menyuarakan dan membela kepentingan perempuan harus dapat berfungsi sebagai kontrol atau pengawas yang tidak peka atau tidak membela kepentingan perempuan terhadap pemerintah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved