Provinsi Irian Jaya Tengah telah dideklarasikan akhir pekan lalu, namun hingga kini situasi terus memanas dan berujung jatuhnya korban akibat keributan antar massa yang pro dan kontra pemekaran di bumi Papua. Para tokoh Papua di Jakarta pun menilai pemekaran ini cacat hukum.
Sejumlah tokoh masyarakat asal Papuan seperti mantan Gubernur Irian Jaya Barnabas Suebu,mantan Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen) Agust Kafier, anggota DPR asal Papua, Simon Patrice Morin dan tokoh agama Phill Erari, di Jakarta, Minggu (24/8), mengaku tidak menolak pemekaran, tetapi harus dilakukan sesuai prosedur hukum.
Mereka menilai pemekaran Papua tidak sah atau cacat hukum, provinsi baru ( Irian Jaya Tengah) hasil pemekaran itu pun tidak sah.
"Faktanya, provinsi baru itu telah dideklarasikan dan menjadi anak dari Papua juga, tetapi namanya anak yang tidak sah, jadi yang perlu dipersoalkan adalah ibunya, yakni orang-orang yang terlibat dalam proses pelacuran hukum hingga ada pemekaran," tegasnya.
Suebu mengatakan, tidak antipemekaran. Sebab, rencana pemekaran itu sudah dibahas lebih dari 20 tahun lalu. Hanya saja dalam beberapa hasil penelitian semuanya disebutkan harus dipersiapkan sumber daya manusianya, secara alamiah dan harus sesuai aturan hukum. "Pemekaran itu bukan tabu, bukan soal, tapi prosedurnya harus sesuai hukum karena kita negara hukum. Saya tidak tahu, apakah Mendagri Hari Sabarno itu tahu pemerintah melanggar hukum atau pura-pura tidak tahu, atau sengaja mau mengacaukan Papua agar konflik terus berlangsung di sana,' tegas Suebu.
Dia menegaskan ketidaksetujuannya dengan kebijakan pemerintah dalam hal pemekaran tanpa prosedur hukum itu, semata karena kecintaanya terhadap Republik Indonesia. Sebab, ketika sebagian besar rakyat Papua menolak otonomi khusus dan tetap ngotot ingin merdeka, Suebu dan beberapa tokoh lainnya justru berjuang meyakinkan, otsus itulah yang terbaik bagi Papua, bukan merdeka.
Sementara anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar asal Papua Alex Hasegem mendesak supaya Mendagri segera diberhentikan karena tidak beres mengurusi masalah Papua. Kebijakan pemekaran wilayah Papua menyebabkan jatuhnya banyak korban di kalangan rakyat Papua itu sendiri akibat pro kontra pemekaran bagi Papua.
"Pemerintah tidak mau mendengar lembaga tertinggi negara, yakni MPR dan terus memaksa kehendak pemekaran Papua, akibatnya masyarakat adat Mimika pecah belah dan berubah menjadi arena perang antarsuku," kata Alex Hasegem, di Jakarta, Senin (25/8). Menurut dia, bentrokan yang menewaskan seorang warga dari kelompok antipemekaran beberapa waktu lalu menimbulkan keinginan untuk balas dendam dari mereka. Hal itu sebenarnya bisa dihindari apabila kebijakan pemekaran Papua tidak dipaksakan dari atas.
Sementara Ketua DPR Akbar Tandjung mengatakan, DPR akan menanyakan kepada pemerintah, atas alasan apa membuat langkah-langkah pembentukan provinsi baru di Papua. Kebijakan ini sudah menimbulkan konflik baru di masyarakat, dengan begitu kelihatannya pemerintah justru mendorong terjadinya konflik.
"Mestinya pemerintah dengan berbagai langkah berusaha untuk mencegah supaya tidak terjadi konflik di Papua. Pemerintah harus menyukseskan pelaksanaan otonomi khusus dulu," kata Akbar, di Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (24/8). Tanggapan ini disampaikan atas jatuhnya korban ketika peresmian Provinsi Irian Jaya Tengah.
Padahal, tambah Akbar, waktu pembahasan RUU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah memprioritaskan pelaksanaan otsus. Semangatnya dalam pembahasan tersebut adalah melaksanakan otsus dan mengenai tiga provinsi yang pernah diputuskan dalam UU, nanti akan dievaluasi.
Dari Jayapura dilaporkan, bentrokan antara massa yang mendukung dan menolak pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah, di Timika hari Sabtu (23/8) berlanjut pada hari Minggu, dan memakan korban tewas seorang serta delapan lainnya luka-luka.
Kapolres Mimika, AKBP Paulus Waterpauw, Senin (25/8), mengatakan situasi di wilayah itu belum kondusif, dan kepolisian setempat menempatkan empat kompi untuk menjaga keamanan. Namun disebutkan bahwa melihat perkembangan keamanan ada kemungkinan jumlah pasukan polisi akan ditambah.
Setelah dideklarasikannya Provinsi Irian Jaya Tengah dengan ibukota di Timika, Sabtu (23/8), terjadi bentrokan antara massa rakyat pendukung pembentukan provinsi baru dan yang menolak.
Bentrokan kembali terjadi, Minggu (24/8) ketika kelompok yang menolak mendatangi bangunan yang diresmikan sebagai kantor gubernur provinsi baru itu. Seorang korban tewas adalah James Kibak. Di antara delapan yang luka-luka, terdapat Ketua Panitia
Deklarasi Provinsi Irja Tengah, Andreas Anggaibak. Dia juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Mimika. Tujuh lainnya adalah Semusi Amisin, T. Tabuni, Menus Kogoya, Yuli Betamom, Kayus Ugamang, L. Kogoya, dan Yohanes Anggaibak.
Selain itu, akibat bentrokan beberapa buah kantor juga turut dirusak, termasuk kantor Gubernur Irja Tengah, kantor Jamsostek, dan kantor redaksi Timika Pos.
Seperti dilansir Suara Pembaruan, Senin ini ribuan warga yang menolak pemekaran kembali mendatangi gedung kantor sementara Gubernur Irja Tengah di jalan Cenderawasih SP II di Timika.
Menanggapi situasi ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno menjelaskan pemerintah pusat tidak pernah mengeluarkan instruksi agar Provinsi Irian Jaya Tengah segera dideklarasikan. Meski tidak ada instruksi, Mendagri menolak apabila dikatakan pemerintah pusat tidak mengakui deklarasi provinsi itu.
"Siapa yang mendeklarasikan tidak ada urusan dengan pemerintah (pusat). Itu kan masyarakat," ujar Mendagri seusai pembukaan Sidang ke-14 Governing Council di Istana Negara, Jakarta Senin (25/8) pagi.
Mendagri mengungkapkan sejak dulu pemerintah pusat tidak pernah menyuruh untuk mendeklarasikan provinsi baru di wilayah Irian Jaya itu, karena faktanya secara politik dan hukum UU 45/1999 sudah pernah ada, dan keputusan Presiden yang menyatakan bahwa memang menjadi provinsi baru.
"Pemerintah mengharapkan kedua pihak baik yang pro maupun yang kontra supaya cooling down. Biarlah itu ditata secara baik," katanya.
Hari mengungkapkan bahwa terjadinya tindak kekerasan sangat disesalkan. Deklarasi itu dilakukan mendadak di tengah suasana pro dan kontra di kalangan masyarakat setempat. Pemekaran itu sendiri dianggap para tokoh Papua sebagai bentuk pelacuran hukum, melanggar konstitusi, tidak sah dan harus dibatalkan.
"Kita sudah memperhitungkan, di wilayah tengah itu masih riskan. Karena ada masyarakat yang pro dan kontra. Ini berbeda dengan yang barat. Jadi sangat kita sayangkan," kata Mendagri, Senin (25/8) pagi, di Istana Negara.
Dijelaskan, sesuai UU No 45/1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya, dan Kota Sorong, dinyatakan nantinya wilayah Papua akan terdiri dari provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya timur.
Menurut Mendagri, deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah akhir pekan lalu dilakukan mendadak sehingga menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat setempat.
"Sebaiknya cooling down dulu. Yang setuju tidak perlu menunjukkan persetujuannya dengan cara-cara atraktif, kemudian yang tidak setuju jangan melawan dengan kekerasan fisik," katanya. Mendagri mengatakan tujuan pemerintah dalam rangka mengefektifkan UU 45/1999 itu adalah untuk memperluas layanan pemerintah ke masyarakat.
Selain itu dengan lebih dari satu provinsi otomatis bisa mewadahi aktualisasi dari putra-putra daerah setempat yang sudah waktunya dan memenuhi persyaratan untuk menjabat di tingkat provinsi. "Jadi dari sekian banyak kader Papua tidak hanya tersedia satu kursi. Cuma itu harus dilakukan secara bertahap," katanya.
Hari Sabarno mengakui pegangan pemerintah yakni UU No 45/1999 secara riil hukum dan politik memang ada, namun belum operasional. "Jadi pemerintah sebenarnya tidak tergesa-gesa dan gegabah. Memang yang akan difasilitasi untuk operasional adalah Irian Jaya Barat, sementara Irian Jaya Tengah belum melangkah ke situ," ungkapnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved