Hari ini, Rabu (26/07), Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana permohonan pengujian formil dan materil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Ada 2 pemohon yang mengajukan gugatan ke MK.
Permohonan tersebut terdaftar dalam dua nomor, yaitu 38/PUU-XV/2017 dan 39/PUU-XV/2017. Perkara nomor 38 dimohonkan oleh Afriady Putra dari Organisasi Advokat Indonesia (OAI), sedangkan perkara nomor 39 dimohonkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan kuasa hukum Yusril Ihza Mahendra.
Dalam permohonannya, Afriadi Putra selaku pemohon perkara nomor 38 menganggap dikeluarkannya perppu a quo pada 10 Juli 2017 adalah suatu kemunduran dari prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum di Indonesia.
"Bahwa terdapat upaya-upaya yang termuat dalam UU Ormas, yaitu upaya persuasif, mekanisme peringatan tertulis, pembekuan sementara, dan mekanisme yudisial, namun dalam perppu a quo upaya-upaya tersebut dihilangkan," ujar Afriadi.
Selain itu, Afriadi mendalilkan, dengan dikeluarkannya perppu a quo telah menghapus ketentuan yang termuat dalam Pasal 68 Ayat (2) UU Ormas, sehingga pemerintah secara subjektif dapat membubarkan setiap ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Pembubaran ini dilakukan secara subjektif oleh pemerintah tanpa melalui proses hukum di pengadilan," jelasnya.
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra, selaku kuasa hukum pemohon perkara nomor 39 menekankan bahwa pemberlakuan beberapa pasal dalam Perppu Ormas memungkinkan pemerintah untuk melakukan tindakan sepihak tanpa mempertimbangkan hak jawab dari ormas.
Dalam permohonannya Yusril menyebutkan beberapa pasal, antara lain Pasal 59 Ayat (4) huruf c sepanjang frasa “menganut”, Pasal 61 Ayat (3), Pasal 62, Pasal 80, dan Pasal 82A dari Perppu 2/2017.
"Akibatnya ketentuan-ketentuan tersebut dapat dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan pasal ini telah mengambil alih tugas hakim dalam mengadili perkara," sebut Yusril dalam permohonannya.
Selain itu, kata Yusril, HTI sebagai pemohon juga mempunyai hak asas praduga tak bersalah, sehingga memiliki kesempatan untuk membela diri dan meminta bantuan advokat untuk dapat membuktikan sebaliknya.
"Kepastian hukum harus dijamin oleh negara tanpa terkecuali kepada mereka yang berada di dalam organisasi masyarakat," tegasnya.
Atas dalil-dalil tersebut, OAI dan HTI meminta MK menyatakan ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
© Copyright 2024, All Rights Reserved