TAK ada yang tak mengakui betapa hebatnya tim nasional sepak bola Spanyol. Mereka tampil di final Euro 2024. Prediksi saya, Tim Matador itu akan menjungkalkan Inggris, mengulang sukses di Euro 2012, meraih juara dengan menumbangkan Italia 4-0.
Rekam jejaknya di Euro 2024 juga sangat moncer. Tak pernah kalah sejak babak penyisihan. Di setiap pertandingan selalu menyuguhkan permainan atraktif yang mengundang decak kagum penonton. Spanyol telah mengubah lapangan hijau menjadi panggung teater dengan drama kolosal.
Pelatih Spanyol, Luis de la Fuente, seolah menjelma sebagai koreografer yang piawai. Sedang Lamine Yamal dan kawan-kawan adalah aktor-aktor yang penuh daya pesona. Sepak bola ditampilkan sebagai pentas seni yang agung.
Sukses Timnas Spanyol merupakan buah sistem meritokrasi negara itu dan keberanian melakukan perubahan. Meritokrasi adalah sistem yang memberi kesempatan seseorang untuk berkembang sampai puncak keunggulannya, berdasar kemampuan dan prestasinya. Bukan nepotisme, dinastiisme, dan emosional primordialisme seperti suku, daerah, ras.
Sistem meritokrasi negara itu juga diterapkan dalam sepak bola. Mulai pemilihan pelatih, ofisial, sampai pemain, semua didasarkan track record yang panjang. Setiap proses melibatkan publik. Sehingga cela sedikit saja bisa diketahui publik.
Dalam pemilihan pemain misalnya, rekam jejak terdata secara ilmiah, lengkap dan panjang. Sehingga tidak bisa seseorang membuat branding di media, baik Medsos maupun media mainstream. Seleksi dilakukan transparan, objektif, jujur dan ilmiah. Raja pun tidak cawe-cawe. Tidak ada jalur Ordal alias orang dalam. Apalagi sampai menjungkirbalikkan aturan main.
Dengan calon pemain hasil proses meritokrasi, mudah bagi Luis de la Fuente meracik skuadnya sesuai konsep “Spanyol Baru”. Konsep itu merupakan eformasi dari sistem taka tiki yang sudah berumur lebih 10 tahun.
Luis mengakui, taka tiki adalah sistem yang hebat untuk zamannya. Terbukti membawa Spanyol juara dunia 2010, juara Eropa 2008 dan 2012. Tapi setiap era berubah.
Pemain yang cocok untuk taka tiki, seperti David Villa, Puyol, Fabregas, Iniesta, sudah pensiun atau udzur. Sedang pemain yang di tangannya belum tentu cocok untuk taka tiki.
Meninggalkan taka tiki butuh keberanian dan pembuktian. Sebab bagi publik Spanyol taka tiki itu sudah menjadi ideologi. Sebagai reformis, Luis jalan terus. Semua akhirnya sekarang mengakui kesahihan perubahan yang dia lakukan.
Kita bisa belajar dari sini, jika mau.
*Wartawan Senior, tinggal di Sidoarjo.
© Copyright 2024, All Rights Reserved