Hingga kini belum terlihat adanya upaya sistematis untuk membunuh kebebasan pers di Indonesia. Kasus Tempo yang digugat oleh pengusaha Tomy Winata, juga bukan sebagai bentuk pembunuhan terhadap kebebasan pers. Malah, masalah ini harus dijadikan pers sebagai alat koreksi untuk memperhatikan kaidah-kaidah jurnalistik. Kasus Tempo versus Tomy Winata merupakan masalah hukum biasa, dan terlalu jauh jika ada pihak yang mengaitkannya dengan upaya pemberangusan terhadap kebebasan pers.
Menurut Azyumardi Azra, sebenarnya pers di Indonesia masih lebih beruntung dibandingkan dengan pers-pers di negara lain. Karena, di Amerika Serikat (AS), misalnya, sebuah media yang cukup populer justru telah berubah menjadi corong dari kekuatan-kekuatan politik tertentu dalam dua tahun terakhir ini. Bahkan media itu juga telah menjadi alat propaganda bagi kepentingan politik.
Menilik kasus kekalahan Tempo di PN Jakarta Selatan yang mewajibkannya membayar ganti rugi imateriil senilai US$1 juta kepada Tomy Winata, menurut dia, tidak akan membawa pengaruh terhadap kebebasan pers. Meningkatnya kasus-kasus pengaduan terhadap media massa merupakan suatu proses transisi yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Adanya peningkatan kebebasan pers, harus diakui, dalam batas-batas tertentu, juga menimbulkan ekses-ekses.
Azyumardi memberikan contoh pemberitaan pers dipersoalkan karena dianggap kurang tepat atau mencemarkan nama baik seseorang. Tapi, hak jawab dari orang yang tercemar nama baiknya itu – yang dilayangkan kepada pers – tidak mendapatkan porsi yang seimbang. Pemuatan hak jawab itu tidak di tempat yang sama dengan pemberitaan yang telah mencemarkan nama baik sebelumnya. “Misalnya, pemberitaan pertama di halaman satu, sedangkan hak jawabnya di halaman 12 atau hanya di rubrik surat pembaca. Orang sudah rusak duluan,” katanya.
Dalam kaitan ini, kata Azyumardi, sudah seharusnya media massa nasional melakukan koreksi diri secara keseluruhan. Pers jangan lagi menganggap dirinya sebagai pihak yang paling benar. Sebab, ada kalanya pers juga membuat kekeliruan. Di AS, pemberitaan {New York Times} pernah dianggap sebagai kebenaran yang harus diterima, bukan oleh {New York Times} sendiri, tapi juga oleh publik. “Tapi ternyata pernah ditemukan bahwa ada berita tertentu yang dibuat oleh wartawan (koran itu) merupakan [hasil rekayasa]. Dia tidak pernah turun ke lapangan. Dia hanya mengutip sumber-sumber yang tidak akurat. Tapi, itu diberitakan seolah sebagai sebuah kebenaran. Oleh karena itu, gugatan terhadap pers di pengadilan bisa menjadi pelajaran untuk membangun dunia jurnalistik yang lebih baik.
Azyumardi Azra berpendapat, gugatan pidana maupun perdata yang dilancarkan pengusaha Tomy Winata terhadap grup Tempo, baik di PN Jakarta Selatan, PN Jakarta Pusat, maupun PN Jakarta Timur, tidak bisa dianggap sebagai pengekangan dan pemberangusan terhadap kebebasan pers. Sebab, menurut dia, gugatan terhadap pers merupakan hal yang lazim. Itu bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat. “ Saya belum melihat ada upaya yang sistematis untuk memberangus kebebasan pers di Indonesia, karena kita masih melihat bahwa kebebasan berekspresi masih tetap dimiliki oleh media kita, baik media cetak maupun elektronik,” kata Azyumardi Azra.
Sementara tokoh pers, Atmakusumah berpendapat senada. Walau ada gugatan terhadap pers (dalam hal ini {Tempo}) di pengadilan, dia tidak melihat hal itu sebagai upaya sistematik dari perangkat hukum untuk melakukan tekanan-tekanan terhadap pers nasional. “Saya secara pribadi tidak melihat adanya tekanan-tekanan sistematik, baik melalui jalur hukum maupun kekuasaan, terhadap pers di Indonesia. Penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers di pengadilan, dan tidak melalui jalur Ombudsman atau Dewan Pers, merupakan hal yang wajar-wajar saja,” ungkap mantan Ketua Dewan Pers Indonesia ini.
Sementara itu, Nono Anwar Makarim melihat, kasus hukum antara {Tempo} dan Tomy Winata yang berkaitan dengan pencemaran nama baik, sebagai salah satu cermin masih adanya celah hukum yang menyangkut dunia pers. Dia berpendapat, perlu adanya pembahasan lagi mengenai undang-undang (UU) yang mengatur pencemaran nama baik dan pengenaan denda terhadap pers yang melakukan kesalahan.
Menurut Nono, seharusnya pengenaan denda itu bukan untuk membunuh, melainkan untuk koreksi. Karena itu, harus ada pembatasan nilai denda. Dengan demikian insan pers tidak dianggap berada di atas hukum, wartawan bukan warga negara istimewa. Mereka juga bisa berbuat salah. “Setiap wartawan, pengusaha, hakim, dan masyarakat harus diberikan kursus-kursus mengenai masalah jurnalisme, misalnya apa saja yang bisa dilakukan, yang ini boleh, itu jangan, yang ini bahaya, awas, hati-hati. Kalau tidak, pers kita tidak akan mengalami kemajuan,” ucap Nono.
Peran pers, lanjut Nono, untuk membela kepentingan umum. Namun dalam perjalanannya, banyak problem muncul, misalnya dalam kasus tertentu kepentingan umum dikesampingkan oleh pers. Kemudian, timbul pula kesengajaan menghina seseorang.
Menanggapi hal itu, Desmond J Mahesa mengatakan, pencemaran nama baik Tomy Winata berawal dari kualitas pemberitaan {Tempo} yang kurang memperhatikan kaidah penulisan berita, yakni akurasi yang dilengkapi data pendukung. Akibat pemberitaan tersebut, Tomy Winata dirugikan. Muncullah konflik antara {Tempo} dan Tomy Winata yang berujung Tomy dipanggil DPR. “Dalam pertemuan dengan DPR itu diambil kesepakatan, masalah ini harus diselesaikan melalui jalur hukum,” kata dia.
Inti dari kasus {Tempo} -Tomy Winata, papar Desmon, sebenarnya berawal dari pemberitaan {Tempo} yang menggiring opini bahwa Tomy bertanggung jawab atas kebakaran di pasar Tanah Abang. Disebut-sebut pula adanya proposal pembangunan Pasar Tanah Abang yang diajukan oleh Tomy Winata kepada pemerintah. Namun, hingga sekarang, proposal itu tidak dapat dibuktikan keberadaannya. “Kalau ada orang yang merasa dirugikan, terus menggugat, itu biasa. Ada hukum yang mengatur itu. Kami bukannya mengancam kebebasan pers.Tapi pers, yang menurunkan berita seperti ini ({Tempo}) lah yang mengancam dirinya sendiri. Bukan masyarakat, ujar Desmon.
Yang harus dinilai dari pemberitaan {Tempo} itu, lanjut Desmond, adalah sejauh mana berita-berita yang disajikan memenuhi kaidah jurnalistik. Sumber berita harus jelas, tidak usah ditutup-tutupi. “Kalau memang benar ada proposal yang menjadi kunci keterlibatan Tomy Winata pada kebakaran Pasar Tanah Abang, silakan tunjukkan {copy}-nya ke Pak Atmakusumah dan Pak Nono,” pinta Desmond.
Menurut pengakuan Bambang Harymurti, proposal itu memang ada. Namun, pihaknya tidak dapat menunjukkan proposal itu di pengadilan untuk menjamin keamanan narasumber. Selain itu, kalau proposal itu ditunjukkan, akan mengungkap siapa pembocor yang sebenarnya. Menanggapi hal itu, banyak peserta diskusi meminta Bambang menunjukkan proposal tersebut. Tapi, Bambang bersiteguh tidak mau menunjukkannya. Padahal, dalam beberapa kesaksian yang sigelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tak seorang pun saksi dari {Tempo} yang mengatakan pernah melihat proposal itu. Bahkan penulis beritanya sendiri (Ahmdad Taufik), secara jelas mengatakan bahwa dia tidak pernah melihatnya. Sedangkan kolumnis Ulil Abshar Abdalla, yang juga menghadiri diskusi itu menambahkan, {Tempo} tidak usah takut menghadapi gugatan Tomy Winata jika memang memiliki bukti.
Demikian kutipan para nara sumber yang beribicara dalam forum diskusi bertema “Kebebasan Pers Dalam Ancaman” yang diselenggarakan bersama {Indonesia Institute for Civil Society} (INCIS), {Koran Tempo}, dan {Kantor Berita Radio 68H}, di Jakarta, Kamis (5/2) siang. Dalam forum yang khusus itu, Pemimpin Redaksi {Koran dan Majalah Tempo} Bambang Harymurti juga bertindak sebagai pembicara.
© Copyright 2024, All Rights Reserved