Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, RH Siregar mengatakan, UU Pers Nomor 40 tahun 1999 bukanlah UU Khusus yang sudah mengatur semua persoalan hukum yang timbul akibat pemberitaan pers. Seperti menyangkut berita bohong dan penghinaan, tidak ada diatur dalam UU Pers.
Dalam Pasal 22 UU Pers Nomor 40 tahun 1999 disebutkan, sepanjang menyangkut pidana yang tidak diatur dalam UU Pers, diatur dalam UU lain, yang dalam hal ini berlaku KUHP dan KUH Perdata. Bahkan hal itu diperkuat lagi dalam penjelasan akhir UU Pers. Ini berarti UU Pers bukanlah UU Khusus yang sudah mengatur semua persoalan hukum yang timbul akibat pemberitaan pers, ujar RH Siregar.
Oleh karena itu, delik pidana yang timbul akibat pemberitaan pers dapat diproses berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan selanjutnya menyangkut tuntutan ganti rugi berlaku KUH Perdata. Jadi apabila Hakim di pengadilan menggunakan KUHP atau KUH Perdata tidak dapat dipersalahkan, malah sudah sesuai dengan UU, tambah RH Siregar.
Untuk itu, menurut pengacara papan atas Hotma Sitompoel, Pemimpin Redaksi majalah dan {Koran Tempo}, Bambang Harymurti jangan sok demokratis dan merasa paling memahami Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999. Kalau sudah salah, mengaku salah saja dan mengapa harus mengelak dari tanggungjawab dengan mendalilkan UU Pers.
Kalau memang ada proposal renovasi pasar Tanah Abang seperti dikemukakannya dalam dialognya di stasiun televisi Metro TV, Jumat malam (6/02), mengapa tidak dibeberkan di pengadilan atau melalui Metro TV. Kalau alasannya takut, itu sudah tidak masuk diakal lagi. Siapa yang ditakutkannya, atau siapa yang hendak dilindunginya, karena untuk membeberkan proposal tersebut kepada publik, tidak perlu harus mengungkapkan siapa sumbernya, cukup faktanya saja, ujar Hotma Sitompoel.
Demikian halnya mengenai siapa sumber pemberi proposal. Kalau Bambang Harymurti lebih mementingkan melindungi sumber beritanya dari pada kelangsungan hidup majalah {Tempo}, berarti harus siap mempertanggungjawabkan segala aspek hukum yang ditimbulkannya, baik secara pidana maupun perdata. Jadi jangan sok demokratis dan seolah-olah orang nomor satu yang paling gigih memperjuangkan kebebasan pers, kata Hotma.
Hotma Sitompoel mengingatkan, sebaiknya Bambang Harymurti jangan membuat bingung publik. Kalau memang tidak memahami betul UU Pers, janganlah bicara tentang UU Pers. Sebab UU Pers Nomor 40 tahun 1999 bukan UU Khusus yang sudah mengatur semua persoalan hukum yang timbul akibat pemberitaan pers. Seperti menyangkut berita bohong dan penghinaan, tidak diatur dalam UU Pers. Malah secara tegas dalam UU Pers disebutkan yang menyangkut delik pidana, seperti berita bohong dan penghinaan diatur dalam UU lain, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan KUH Perdata.
Kita semua mendukung tegaknya kebebasan pers, tapi kebebasan pers yang tetap menjunjung tinggi kaidah-kaidang hukum dan etika moral. Jadi bukan kebebasan yang bisa melahirkan tirani pers atau premanisme pers, kata Hotma.
Hotma Sitoempoel lebih lanjut mengatakan, bahwa kasus {Tempo} bukanlah kasus pers nasional. Tetapi semata-mata kasus {Tempo} dengan Tomy Winata, yang timbul akibat pemberitaan bohong dan fitnah di media kelompok {Tempo}. Dimana dalam kasus ini pihak yang sangat dirugikan adalah Tomy Winata.
© Copyright 2024, All Rights Reserved