Di tengah tantangan perubahan iklim dunia, lahan rawa ternyata memberi banyak harapan sebagai penyedia pangan dan energi. Pemanfaatannya bisa dijadikan alternatif untuk pengembangan pertanian. Meskipun, diperlukan tata kelola yang tepat dan pemantauan terus menerus.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertanian (Kementan), M. Syakir mengatakan, potensi lahan rawa di Indonesia hanya sekitar 19,99 juta hektar (ha) dari 34,3 juta ha luas lahan rawa di Indonesia. Sisanya, sekitar 14.93 juta ha tidak potensial karena berada di kawasan hutan.
Syakir mengatakan, produksi pangan nasional, terutama beras terancam serangan el nino pada bulan Juni hingga November tahun ini. Pada bulan itu, Indonesia akan memasuki masa kemarau. Kekeringan mengancam industri pertanian.
Dari perhitungan Balitbang Kementan, serangan el nino lemah diperkirakan membuat 207 ribu ha lahan kekeringan. Sedangkan serangan el nino moderat bakal membuat 222 ribu ha lahan kekeringan. Untuk el nino kuat, sekitar 227 ribu ha lahan bisa kekeringan. Dengan perhitungan seperti itu, maka rata-rata produktivitas padi yang terkena dampak sebesar 5,1 ton gabah kering giling (GKG) per ha.
“Indonesia bakla kehilangan padi sebanyak 1 juta ton GKG atau setara dengan 600 ribu ton beras. Diperkirakan kondisi ini akan terjadi di seluruh Indonesia," katanya kepada politikindonesia.com, di Kantor Balitbang Kementan Jakarta, Selasa (30/06).
Ditambahkan Syakir, untuk mengantisipasi kegagalan panen akibat el nino, maka pihaknya memanfaatkan lahan rawa untuk ditanami padi saat musim kemarau panjang. Lahan rawa, memiliki kandungan air yang pas untuk ditanami padi saat musim kemarau.
Sesuai dengan pemetaan dan teknologi yang dilakukan, lahan rawa tersebar di 17 provinsi di Indonesia. Di antaranya Palembang, Banjarmasin, Palangkaraya, Pontianak, Pekanbaru dan Jambi.
"Kami sudah menyiapkan road map untuk mengembangkan rawa menjadi lumbung pangan nasional. Rawa yang biasanya dalam akan menjadi dangkal ketika kemarau, endapan lumpur membuat rawa makin subur, sehingga cocok untuk tanaman pangan. Karena selama ini lumbung beras kita hanya itu hanya bertumpu pada padi sawah. Sawah tergantung pada irigasi, sensitif pada perubahan iklim. Ke depan perlu ada pilihan lain yang memiliki potensi cukup besar, yaitu lahan rawa," ujarnya.
Dijelaskan, pada tahun 2015 ini sudah ada sekitar 509 ribu ha lahan rawa yang bakal melakukan panen. Puncak panen dari lahan rawa itu akan terjadi pada bulan September sampai Desember. Sehingga dapat mengisi defisit beras pada masa paceklik. Sebagian besar lahan rawa yang sudah ditanami padi berada di wilayah Palembang dan Kalimantan Selatan.
"Walaupun padi di lahan rawa memang sedikit lebih rendah dari rata-rata nasional, hanya 4 ton per ha. Namun, lahan rawa seluas 509 ribu ha saja sudah cukup untuk menutup kegagalan panen akibat el nino. Sehingga Indonesia sudah memiliki cadangan sebanyak 2 juta ton GKG, walaupun akibat el nino mengalami kehilangan 1 juta ton GKG. Itu artinya semua kekurangan padi akibat el nino bisa tertutupi. Jadi jangan pernah khawatir kita akan kekurangan beras," tandasnya.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian Dedi Nursyamsi menambahkan, rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis. Setidaknya ada 6 alasan mengapa lahan rawa dinilai potensial sebagai lahan pertanian, terutama di musim kemarau.
"Adapun yang membuat kawasan rawa potensial adalah karena adanya stok air yang melimpah. Jadi tinggal diolah tata kelola airnya agar sesuai dengan pola tanam. Selain itu, lahan yang dibuka lebih cepat pulih dan segera dapat ditanami karena tersedia cukup air. Ketiga, saluran air yang dibuat di kawasan rawa dapat sekaligus berfungsi sebagai sarana transportasi," ungkapnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, sekitar 90 persen lahan rawa berada pada dataran rendah, sehingga lebih mudah diolah menjadi lahan pertanian. Kelima, lahan rawa potensial dikembangkan justru ketika musim kemarau tiba. Karena kandungan air di dalam tanah menyusut sehingga area tanam menjadi lebih luas.
"Jika musim panen akan tiba ketika lahan sawah sedang tidak berproduksi, yakni pada September hingga Desember. Sehingga dapat mengisi defisit beras dan lebih tahan terhadap deraan perubahan iklim. Bahkan, hasil biji-bijian dan tanaman rimpang yang ditanam di area rawa dinilai lebih kaya dengan kandungan Se dan Fe. Hal ini terjadi karena lahan rawa banyak mengandung endapan mineral," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved