Ditengah riuh-rendahnya upaya pemberantasan korupsi, masih ada upaya-upaya penyesatan yang dilakukan kelompok tertentu untuk mengalihkan fokus pemberantasan korupsi. Penyesatan itu dilakukan mereka yang selama ini menikmati situasi dan bebas melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme tanpa rasa bersalah. Hal itu dikemukakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki.
"Saya melihat ada penyesatan dalam hingar-bingarnya pemberantasan korupsi. Berbagai isu dilemparkan seperti daya serap APBN/APBD menurun karena gencarnya pemberantasan korupsi di mana pejabat tidak mau jadi pimpinan proyek," ujar Ruki dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (18/7).
Isu lain yang dilemparkan koruptor adalah tidak berjalannya sektor riil karena kredit tidak mengucur. Banyak NPL ({non-performing loan}) dipersoalkan. "Saya diskusikan dengan Presiden masalah ini. Ada kesepahaman, Presiden tidak mempersoalkan melambatnya penyerapan anggaran. Kalau memang itu terjadi sebagai keinginan untuk lebih berhati-hati," ujar Ruki.
Dari analisis Presiden, kata Ruki, sejauh ini sudah hampir mencapai 20 persen APBN yang bisa diselamatkan dari kemungkinan untuk dikorupsi. "Saya senang, Presiden tidak salah persepsi dengan hingar-bingarnya wacana yang berkembang," ujarnya.
Soal siapa yang melakukan penyesatan, Ruki mengemukakan, "Beberapa orang yang menikmati situasi yang ada di mana mereka bisa bebas membelanjakan uang negara, bebas tunjuk keponakan, bebas tunjuk adik iparnya."
Untuk pencegahan korupsi, KPK ingin perluasan laporan harta kekayaan penyelenggara negara dengan adanya laporan kekayaan pejabat negara yang bukan penyelenggara negara. Untuk perluasan ini tengah disusun status deklarasi kekayaan pejabat. "Dengan pernyataan ini mempermudah pengawasan dan pembuktian terbalik. Pada akhir jabatan, jika terjadi perubahan kekayaan yang tidak sesuai penghasilannya, penyidik bisa minta dibuktikan hal itu bukan hasil korupsi," ujar Ruki.
© Copyright 2024, All Rights Reserved