Persoalan hutan dan masyarakat di sekitarnya, terutama terkait pengelolaan dan pemanfaatan hutan masih terdengar. Kadang menjadi sumber konflik agraria yang terjadi antara masyarakat yang sudah berdiam sejak lama di sekitar hutan dengan satu kekuatan pengelola baru.
Akar masalahnya adalah masyarakat yang merasa bisa mengelola lahan karena sudah dilakukan sejak turun temurun, dan pihak pengelola hutan yang merasa memiliki perizinan.
Tapi ternyata, persoalan tersebut mulai dibenahi. Masyarakat adat, masyarakat lokal atau masyarakat asli yang berdiam di sekitar hutan kini mulai mendapatkan izin pengelolaan. Izin ini membuat mereka menjadi sah dan legal untuk memanfaatkan hutan sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.
Peneliti Madya Bidang Ekonomi dan Sosial Badan Riset Nasional (BRIN) dan Mantan Peneliti di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Desmiwati, menilai, persoalan hutan semakin terurai dan berkurang. Konflik terkait lahan antara masyarakat sekitar hutan sudah jauh membaik.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Desmiwati, yang kerap disapa Wong, soal progres apa saja yang telah membuat konflik pemanfaatan hutan semakin menurun.
Berikut petikan wawancaranya:
Problem kehutanan apa saja yang jelas terlihat di Indonesia?
Nomor satu memang masih problem struktural dan kebijakan. Kalau dari sisi kebijakannya memang dimulai dari akar permasalahannya, di mana zaman dulu itu memandang seluruh kawasan yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya secara hukum, itu kemudian menjadi kawasan hutan negara. Itu persoalan paling mendasar, sehingga seluruh kawasan hutan di Indonesia yang notabene ada masyarakat adat, masyarakat lokal, masyarakat asli yang berdiam di sana, itu tidak diakui keberadaan mereka di dalam kawasan hutan itu. Walaupun mereka sudah ada jauh sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan hutan. Itu persoalan paling mendasar. Berbagai persoalan kehutanan di Indonesia, dari situ muaranya.
Kemudian, semakin ke sini, kebijakan-kebijakan kehutanan itu juga memang membuat sekat-sekat antara pemilik modal atau swasta, kemudian ada pemerintah, kemudian ada masyarakat. Dan posisi masyarakat selalu dirugikan. Tidak bisa membuktikan, dan soal perizinan hanya bisa diakses oleh orang-orang yang memiliki akses modal besar di level pengeluar perizinannya. Jadi memang dari dulu sampai sekarang, persoalannya masih di seputar itu.
Pengakuan keberadaan masyarakat di sekitar hutan dan pemberian legalitas itu terjadi mulai kapan?
Sebenarnya sudah mulai dari keluarnya MK 35 soal masyarakat adat yang bisa diakui keberadaannya, yang memisahkan antara hutan negara dan hutan adat. Tapi lagi-lagi, ketika itu keluar tidak dibarengi dengan peraturan di bawahnya yang mendukung, jadi masih menyisakan persoalan. Tapi memang dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah ada pergeseran paradigma bahwa hutan adalah untuk kesejahteraan rakyat di sekitarnya. Jadi sejak zaman SBY sudah ada istilah hutan kemasyarakatan atau social forestry. Dan semakin ditegaskan di era pertama pemerintahan Jokowi dengan adanya target pemberian akses legal ke masyarakat sekitar kawasan hutan sebanyak 12,7 juta hektare (Ha). Ternyata selama dua periode pemerintahan Jokowi, baru terealisasi sekitar hampir 50 % yang sudah keluar bukti legalisasinya. Jadi sudah sampai hampir 6 juta Ha. Dan sisanya untuk menuju ke 12,7 Ha itu sudah dicadangkan.
Apa jaminan buat masyarakat bahwa ini akan terus berlanjut?
Ada Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), yang nantinya perlahan-lahan dan secara bertahap akan terus dibagikan. Jadi di masa akhir-akhir pemerintahan Jokowi ini, memang itu sudah tidak lagi jadi prioritas nasional, tapi Kementerian Kehutanan melalui Eselon 1 Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) tetap terus berusaha memberikan akses legal ini untuk mencapai target tersebut. Menurut saya itu sudah sebuah kemajuan dari segi legalitas. Ada niat negara mengakui dan memberikan jalan pengakuan. Bahkan pasca pemberian izinpun pembenahan terus dilakukan walaupun masih banyak persoalan pasca izin diberikan. Mau diapakan setelah masyarakat mendapatkan izin?
Izin diberikan kepada masyarakat, siapa masyarakat yang dimaksud?
Masyarakatnya adalah masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan hutan tersebut.
Jadi diberikan kepada kelompok masyarakat ya, bukan perwakilannya?
Jadi ada lima izin skema perhutanan sosial di Indonesia. Ada hutan kemasyarakat (HKN), kemudian ada hutan adat, kemudian hutan desa yang dikelola oleh pemerintah desa, kemudian ada kemitraan, ada hutan tanaman rakyat yang untuk hutan produksinya. Ini semua diberikan kepada masyarakat yang memang bergantung hidup secara turun temurun di wilayah hutan itu lewat kelompok-kelompok. Jadi ada kelompok tani, kelompok hutan, ada Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Jadi macam-macam namanya sesuai dengan skema tadi itu. jadi memang tidak diberikan pada individu, jatuhnya adalah pada kelompok tani.
Artinya, bukti kepemilikan itu akan menguatkan ketika terjadi konflik perebutan lahan atau tanah di sekitar hutan. Karena bukti kepemilikan jelas, maka swasta atau lembaga lain tidak bisa semena-mena menggunakannya karena jelas kepemilikannya?
Jadi ada izin pengelolaannya untuk 5 tahun ke depan. Kemudian setiap orang, ada namanya, yang sudah sangat terverifikasi, ada yang beserta luasan, ada juga yang luasannya hanya secara komunal saja, secara hamparan. Nah ketika kelembagaan masyarakat sudah cukup kuat, sangat memungkinkan mereka untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga. Jadi kalaupun kemudian dia mau mengusahakan, apakah itu jasa lingkungan atau usaha-usaha produktif lainnya, mereka bisa bekerjasama dengan pihak luar. Itu bergantung kesepakatan dengan kelompok tersebut.
Statusnya izin kepemilikan atau bagaimana?
Statusnya itu adalah izin pemanfaatan, jadi bukan izin kepemilikan. Izin pemanfaatan yang diberikan selama 35 tahun, dan setelah itu bisa ditinjau ulang dan ada evaluasinya. 35 tahun itu lumayan lama ya, apalagi jika dulu mereka pernah menanam di dalam hutan-hutan tersebut, pernah pada masanya, mereka masuk saja tidak bisa. Tapi sekarang dengan izin tersebut, mereka boleh panen, boleh memanfaatkan hasil, bahkan juga bisa berladang, tapi mereka tidak boleh menebang.
Apakah pemberian izin ini juga bisa meredam konflik lahan yang selama ini sering terjadi?
Sejauh ini menurut saya, pemberian legal ini menjadi cara yang sangat efektif untuk meredam konflik yang terjadi selama ini. Misalnya, banyak kawasan hutan di Indonesia yang berkonflik dengan kawasan taman nasoinal, atau masyarakat yang berada di dalam kawasan taman nasional. Tapi kemudian ketika ada izin perhutanan sosial, termasuk yang di dalam kawasan konservasi, konflik itu bisa ditengahi. Bisa jadi win win solution dengan adanya skema-skema izin legalitas pemberian akses itu.
Tapi kalau dengan taman nasional, misalnya di kawasan zona-zona pemanfaatan, bukan di zona-zona intinya. Dan banyak juga yang misalnya berkonflik dengan perusahaan atau yang paling banyak selama ini adalah konflik dengan negara. Jadi kawasan hutan negara selama ini masyarakat masuk ke dalam dan dianggap ilegal. Tapi dengan adanya pemberian izin perhutanan sosial, mereka jadi legal untuk mengelola kawasan itu. Tapi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya tetap menjaga pohon-pohon besarnya, dan semacam itu.
Lalu siapa yang mengawasi di lapangan? Siapa yang berwenang mengawasi?
Di daerah itu ada namanya Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Jadi tata batasnya ada. Di dalam kawsan hutan negara, kawasan hutan lindung, maupun kawasan konservasi juga sekarang bisa. Ada izin zona pemanfataan sosial.
Jadi konflik yang selama ini terjadi antara warga dengan pihak swasta atau pemerintah terkait lahan sudah makin berkurang?
Menurut saya setelah pemberian izin ini jelas, konflik-konflik tersebut sudah nyaris tidak ada. Sudah clean and clear, terutama konflik dengan swasta. Kebanyakan sudah tidak terjadi. Bahkan yang di daerah Sumatera ada yang ditanami sawit. Jadi sudah aman. Sebenarnya memang tidak boleh dimanfaatkan untuk sawit, tapi yang sudah ada keterlanjuran, itu diperbolehkan sampai selesai masa daurnya. Jadi bisa dibilang tidak ada lagi konflik, apalagi konflik yang terbuka. Karena semua sudah bisa diselesaikan karena sudah ada kelembagaannya juga. Rata-rata kelompok tani ini ada pendampingnya. Jadi pendampingnya bisa dari KLHK sendiri dengan Balai PSKL, kemudian ada dari NGO dan ada juga dari masyarakat. Mereka diberi pelatihan, pendampingan dan ada penguatan kapasitas buat pendamping yang akan mendampingi kelompok-kelompok.
Menurut Anda, pengelolaan kawasan hutan di Indonesia ini sudah menuju membaik?
Ada perubahan membaik. Untuk masyarakat, jauh lebih baik karena menekan konflik pemanfataan lahan, izin pemanfaatan untuk masyarakat sudah ada hukum yang jelas. Masyarakat sekitar hutan bisa menggunakan dan memanfaatkan hutan dengan tenang. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved