Repot memang menjadi pihak yang mengemban tugas melindungi dan memperjuangkan hak asasi manusia. Karena kinerjanya dianggap tak maksimal, lembaga tersebut digugat oleh pihak yang minta diperjuangkan nasibnya. Itulah yang dialami Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga yang diketuai Abdul Hakim Garuda Nusantara ini digugat oleh korban penggusuran lewat organisasi Forum Warga Kota Jakarta (Fakta).
Dalam gugatan model legal standing NGO (hak gugat organisasi) ini, Komnas HAM dituntut harus meminta maaf kepada para kaum miskin dan warga kota Jakarta secara terbuka di enam media cetak nasional seluas 1/6 halaman, di enam stasiun televisi nasional dan di enam radio nasional dengan durasi masing-masing lima menit dalam jangka maksimal satu bulan setelah putusan.
“Kami mempersoalkan tentang pengaduan yang dilakukan sejak tanggal 20 September 2003 dari korban gusuran Cengkareng Timur hingga tanggal 15 Oktober 2003. Sejak 20 September korban mulai menginap di kantor Komnas HAM dan pada 15 Oktober kembali mengadu. Tapi Komnas HAM sama sekali tidak melakukan upaya yang signifikan pada penyelesaian kasus-kasus tersebut,” kata Azas Tigor Nainggolan, koordinator kuasa hukum korban penggusuran yang juga Ketua Fakta.
Menurut Tigor, tergugat melanggar pasal 1365 KUHPerdata yang antara lain berbunyi, membawa kerugian kepada orang lain dan akibatnya harus mengganti kerugian tersebut. Tergugat juga dianggap melanggar pasal 1366 KUHPerdata, di mana tergugat dianggap telah lalai melaksanakan kewajibannya mencegah tindak pelanggaran HAM bagi warga yang tergusur.
Selain itu Komnas HAM dianggap telah melanggar pasal 76 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan salah satu fungsi yang diemban Komnas HAM adalah pemantauan dan mediasi tentang HAM. “Tergugat telah melakukan pembiaran dan tidak melaksanakan fungsinya memantau serta memberikan penyuluhan dan penelitian tentang pelanggaran HAM selama penggusuran berlangsung,” lanjutnya.
Persidangan gugatan berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 8 Januari 2004 dan sudah memasuki acara pembuktian dari pihak penggugat.
Sementara itu, kuasa hukum Komnas HAM, Firman Wijaya, mengatakan, Komnas HAM menyikapi gugatan ini dengan sikap arif dan tidak menghalangi hak orang untuk menggugat lembaga ini. “Kami berharap proses peradilan berjalan fair melihat apakah konteks gugatan legal standing ini sudah tepat atau tidak. Baik secara formil maupun substansial,” kata pengacara dari kantor advokat dan konsultan hukum Subiakto, Soegeng dan Wijaya ini.
Di mata Firman, dalam gugatan ini ada ketidakjelasan persona standing judicio-nya. Kapasitas penggugat tidak jelas, siapa yang memberi kuasa dan siapa pemberi kuasa. Sebab keduanya masih orang yang sama. Yakni, Fakta dan kuasa hukumnya, Azas Tigor Nainggolan, yang juga duduk sebagai Ketua Fakta. Di samping itu, lembaganya juga tidak jelas. Sebab dalam gugatan disebutkan ada Paguyuban Warga Anti Kekerasan (Pawang), Public Interes Environmental Lawyers (Piels) dan Fakta serta ada pihak-pihak yang bertindak sebagai pribadi-pribadi. “Secara formil ini bermasalah,” imbuhnya.
Ditinjau dari sudut substansial, kata Firman lagi, soal Komnas HAM dianggap melakukan pembiaran atas nasib dan hak warga korban penggusuran dirinya tidak sepakat. Jika dianggap pembiaran maka berarti telah terjadi disfungsional dari fungsi Komnas HAM. “Apa betul demikian? Padahal Komnas sudah menjalankan proses memperjuangkan nasib para korban penggusuran,” ucapnya. Dia juga menyayangkan ketidak-konsistenan penggugat yang pada awalnya mengatakan, tergugat dikatakan melakukan pembiaran tapi di tahapan berikut dalam repliknya penggugat mengatakan tergugat tidak optimal.
Mengenai tuntutan permintaan maaf, tergugat mengganggap ada problem yuridis dalam tuntutan semacam ini. Karena tidak menyebutkan angka kerugian di pihak penggugat. Padahal, seharusnya ada pembuktian soal kerugian terlebih dulu, baru kemudian bisa mengajukan tuntutan. Sebab kalau tidak jelas atau tidak ada kerugiannya maka tidak akan ada perbuatan melawan hukum.
Seandainya gugatan ini ditujukan untuk memberikan dorongan terhadap kerja Komnas HAM tampaknya juga tidak pas. Sebab, sebenarnya sejak awal penggugat sudah ikut proses yang dikerjakan oleh Komnas HAM berkaitan dengan persoalan penggusuran. “Jadi tidak fair kalau Komnas HAM dikatakan tidak melakukan apa-apa,” katanya. Dalam tuntutan itu seakan-akan Komnas HAM tidak mampu menjalankan tugasnya atau dengan kata lain, gugatan ini bisa dikatakan upaya delegitimasi kelembagaan Komnas HAM.
Namun, Tigor mengelak bila dikatakan demikian. “Komnas HAM jangan emosional menanggapi gugatan kami. Sebab ini semata ditujukan sebagai satu bentuk kontrol sosial dari masyarakat terhadap lembaga Komnas HAM,” paparnya.
Tak ada gading yang tak retak. Gambaran pas untuk persoalan di atas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved