PASAR Tanah Abang, memang, selalu menjadi bahan omongan. Maklum, pasar seluas 2,4 hektar yang pertama kali dibangun warga Belanda kaya, Justinus Vinck, tahun 1735 itu, merupakan pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara, dengan total perputaran uang mencapai Rp 15 triliun per tahun. Lebih dari 80 persen konsumennya dari daerah. Dan semenjak krisis, pembelinya juga dari Afrika. Jadi tak mengherankan, jika kian lama Tanah Abang semakin menggiurkan.
Itu sebabnya, ketika Blok A Pasar regional Tanah Abang (PRTA), terbakar pada 19 Februari 2003, dan menghanguskan 3.500 kios milik 2.260 pedagang, orang pun ribut kasak-kusuk. Rumornya, ada unsur kesengajaan, karena sudah sangat semrawut, lalu ada yang ingin membenahi. Majalah Tempo menulis, Tomy Winata mengajukan proposal untuk merenovasi pasar yang terbakar. Bahkan, menyebut pengusaha itu sebagai “pemulung besar”. Karena tak mengajukan proposal, dan keberatan atas penyebutan dirinya sebagai pemulung besar, Tomy pun mengajukan gugatan kepada majalah berita mingguan tersebut. Hasilnya, di PN Jakarta Selatan terbukti Tomy memang tak mengajukan proposal.
“Saya juga kaget waktu Tempo menulis itu. Karena sepengetahuan saya, Tomy memang tak pernah mengajukan proposal,” kata Nurman Adhi P, Humas Pasar Jaya kepada PILARS. Sebab, dari tiga proposal yang diajukan ke PD Pasar Jaya, tidak ada satu pun nama perusahaan Tomy Winata. Namun, dari tiga penawaran itu kemudian dimenangkan oleh PT Priamanaya Djan Internasional (PDI). “Saya lupa namanya, tapi yang jelas tak ada perusahaan Tomy,” kata Nurman.
PDI terpilih, dimungkinkan karena adanya Keputusan Gubernur DKI No. 39 tentang kerjasama dengan perusahaan daerah dengan pihak ketiga. Lalu, proposal yang diajukan dinilai menguntungkan bagi Pasar Jaya. Sebab, pihak PDI bersedia memberi kompensasi sebesar Rp 150 miliar kepada Pasar Jaya. Lalu, sesuai kesepakatan, PDI juga bersedia memberikan subsidi kepada 3.500 pedagang korban kebakaran sebesar Rp20 juta per pedagang.
PDI pun bersedia menanamkan uangnya sebesar Rp700 miliar untuk renovasi pasar yang terbakar, dan akan disulap menjadi sebuah pusat perbelanjaan modern, seperti laiknya mall. Di atas lahan seluas 142.512 meter persegi itu, PDI akan mendirikan bangunan yang terdiri dari 18 lantai. Bangunan itu akan selesai masa pengerjaannya pada akhir 2005. Pencanangannya sendiri telah dilakukan sejak Oktober 2003 lalu oleh Gubernur DKI Sutiyoso.
Jika bangunan selesai, menurut penjelasan Nurman, 3.500 pedagang eks kebakaran akan mendapat prioritas utama untuk membeli kios, termasuk 300 pedagang yang berada di muka Blok A, yang bangunannya tak terbakar. Para pedagang ini akan ditempatkan di lantai Dasar Satu (D 1) hingga lantai tujuh. Pada lantai 8 dan 9 akan dialokasikan untuk food court dan parkir. Sisa lantai berikutnya, 10 hingga 17, jelas Nurman, diperuntukan bagi parkir, sehingga pasar modern itu akan mampu menampung 1.250 kendaraan tiap harinya.
Nurman mengungkapkan, rencananya bangunan itu akan dilengkapi empat unit lift kapsul, delapan unit lift barang, dan 146 unit eskalator. Sedangkan untuk mencegah agar tak terjadi kebakaran, bangunan itu dilengkapi dengan standar pengamanan modern, berupa fire detector, smoke detector, hydrant, sprinkler, dan sistem fire compartment (firestop).
Namun penunjukan PDI, menurut Nurman, juga sempat mengundang kontroversi, lantaran tak dilakukan lewat mekanisme tender. Namun, setelah pihak Pasar Jaya beraudiensi dengan DPRD, akhirnya dapat dipahami, terutama karena ada keuntungan yang didapat pihak Pasar Jaya. Begitupun ketika pihak Pasar Jaya memberikan tempat pengganti sementara. “Kita tadinya memberikan di halaman parkir, sesuai dengan permintaan pedagang. Tapi begitu kita berikan, pedagang sendiri akhirnya protes. Baru setelah Gubernur menjanjikan akan memberikan prioritas utama di tempat baru di lokasi kebakaran, pedagang baru bisa menerima,” ungkap Nurman.
Selain PRTA, jelas Nurman, pihak Pasar Jaya juga akan merenovasi enam pasar lainnya, yaitu Pasar Muara Angke, Pasar Kawi-Kawi Sentiong, Pasar Pal Meriam, Pasar Tugu, Pasar Ciplak, dan Pasar Cipulir. “Dan, masih ada beberapa pasar lagi pada 2005 nanti,” ujarnya.
Pasar memang menyimpan banyak cerita. Ketika jago merah menjilatnya, lalu muncul kabar-kabar: ada kesengajaan lah, ada yang mengambil untung lah, ada aktor intelektual, dan konon-konon lainnya. Dan, Majalah Tempo yang mengambil kabar-kabar konon itu: Ada Tomy di Tenabang.
Buntutnya, pengusaha Kelompok Arta Graha itu membawa masalah ini ke meja hijau. Putusan hakim tingkat pertama memvonis bahwa berita itu tidak dibuat berdasarkan fakta. Tomy Winata tak pernah mengajukan proposal peremajaan Pasar Tanah Abang –baik sebelum maupun sesudah peristiwa kebakaran awal tahun lalu.
Sekarang terjawab sudah bahwa pelaku peremajaan Pasar Tanah Abang bukanlah perusahaan di naungan Kelompok Arta Graha milik Tomy Winata. Masih sangsikah Tak Ada Tomy di Tenabang?
© Copyright 2024, All Rights Reserved