SEORANG pengamat politik menyatakan bahwa Pemilu 2024 adalah pemilu yang terburuk sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Kemudian pada kesempatan setelah itu, pengamat tadi mempersempit periode analisis menjadi setelah reformasi 1998.
Selanjutnya hampir setiap hari KPU dan Bawaslu didemonstrasi oleh para sukarelawan paslon, yang menyampaikan aspirasi sangat tidak puas terhadap kinerja Pemilu 2024.
Tidak puas, karena sedang menyuarakan aspirasi paslon yang kalah telak menurut hitung cepat pilpres, maupun sukarelawan parpol yang tidak kunjung lolos melampaui ambang batas parlemen. Menolak teknologi hitung cepat. Menolak perkembangan pelaporan Sirekap KPU.
Di samping itu hampir setiap hari telah disampaikan berbagai petisi, yang serba menolak pemilu curang. Bukan menolak pemilu. Pemilu tidak ditolak, melainkan diksi kecurangan yang ditolak.
Pernyataan sikap dan petisi, antara lain telah disampaikan oleh sebagian personel Petisi 100, cendikiawan, akademisi, aktivis, relawan yang sebagian berasal dari tim sukses dan sukarelawan pendukung paslon yang kalah telak dalam hasil hitung cepat pilpres, yakni sebagai aspirasi dari suara sebagian masyarakat sipil madani yang tidak puas dan vokal.
Juga pernyataan sikap dari perwakilan 200 purnawirawan jenderal, dan perwakilan 100 purnawirawan perwira menengah berbagai Angkatan TNI dan Polri. Protes dan ketidakpuasan berasal dari orang-orang, yang mewakili kekalahan dalam persaingan Pemilu 2024. Suara orang-orang yang juga kalah telak dalam hitung cepat pilpres.
Di samping itu terdapat orang-orang, yang meyakini bahwa proses penyelenggaraan pemilu 2024 telah anti demokrasi, melanggar etika, dan melanggar moralitas. Orang-orang yang tetap senantiasa menolak putusan MK, yang membuat Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Seorang budayawan dari aktivis PDIP mengungkapkan kekecewaannya sebagai preseden anak haram konstitusi.
Mereka ini sungguh-sungguh menolak strategi dari Prabowo Subianto dalam memanfaatkan struktur demografi, yang komposisi peran generasi Z dan milenial mempunyai proporsi terbesar pada voters dengan menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai representasi dari generasi Z dan milenial.
Menolak Gibran yang dimajukan, yang lebih dianalogikan sebagai cawe-cawe memanfaatkan representasikan dukungan total image sebagai Joko Widodo junior.
Podcast dan dialog sepihak dari para pendukung secara langsung dan tidak langsung dari paslon yang kalah pilpres terkesan sangat rajin mengkampanyekan tentang betapa buruk dan curang kinerja Pemilu 2024.
Untuk itu dicari informasi guna melakukan pendalaman untuk menguantifikasikan terhadap fenomena metodologi kualitatif. Penguantifikasikan untuk mengukur penggambaran tentang kinerja pemilu yang terjadi secara kuantitatif.
UU Pemilu 7/2017 tidak mencantumkan diksi kecurangan, melainkan tentang pelanggaran pemilu, sengketa pemilu, dan sengketa hasil pemilu (PHPU).
Pengumuman hasil pemilu real count direncanakan tanggal 20 Maret 2024. Kemudian diketahui bahwa total jumlah tempat pemungutan suara (TPS) pemilu adalah sebanyak 823.220 TPS, yang berada di dalam dan luar negeri.
Selanjutnya diketahui Bawaslu menerima 2.000 laporan pelanggaran Pemilu 2024 (0,24% dari populasi TPS) per 25 Februari 2024. Kemudian telah diselenggarakan 1.300 Pemungutan Suara Ulang (PSU) per 25 Februari 2024 (65% dari total pelanggaran, yang diperbaiki menggunakan metoda PSU).
PSU terbanyak diselenggarakan di Provinsi Papua, diikuti Provinsi Sulawesi Selatan. Sebanyak 69 TPS diselenggarakan sebagai PSU di 14 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
Bareskrim menindaklanjuti 17 tindak pidana pemilu, yang berasal dari 75 temuan dan laporan per 25 Februari 2024. Hal itu berarti terjadi 0,21 per mil tindak pidana dibandingkan populasi total TPS. Juga sebagai 0,91 per mil temuan dan laporan sebagai proporsi temuan dan laporan tindak pidana pemilu dibandingkan jumlah populasi total TPS di Indonesia.
Berdasarkan pengukuran kuantitatif tersebut di atas, maka persoalan pelanggaran pemilu terukur sebesar 0,24% atau lebih kecil dibandingkan taraf kesalahan 5%.
Persoalan tindak pidana pemilu sebesar 0,21 per mil, yang juga dalam ambang batas toleransi, jika orang-orang konsisten mempersoalkan besar kecurangan pemilu 2024.
Di samping itu mengharapkan pemerintahan dapat ditumbangkan seperti tragedi Mei 1998, juga tidak relevan, karena UUD 1945 hasil amandemen keempat satu naskah, yang hendak digunakan sebagai alat untuk memakzulkan presiden tidak membuka jalan lapang untuk kepentingan pemakzulan tersebut.
Di samping itu potensi penyelenggaraan hak interpelasi, hak angket juga tidak relevan untuk mengungkap kecurangan pemilu 2024 berdasarkan pengukuran kinerja pemilu 2024 di atas, ketika paslon kalah secara telak pada posisi rekapitulasi real count terbaru.
Demikian pula terhadap urgensi menarik mundur menteri-menteri dari dalam kabinet, yang berasal dari parpol paslon yang kalah hasil hitung cepat, itu juga terkesan sangat emosional “zero sum game” dibandingkan kepentingan komitmen dalam menjaga persatuan dan kesatuan menuju Indonesia Emas.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved