Simposium Nasional 1965 yang digelar sebulan lalu,- yang mempertemukan korban dan pelaku tragedi berdarah 1965 untuk pertama kali dalam sejarah itu-, gaungnya masih terasa. Simposium ini rencananya akan menyampaikan rekomendasi akhir kepada Presiden Joko Widodo. Rekomendasi ini disusun oleh tim simposium yang dipimpin oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto.
Penyelenggaraan simposium 65 ini mengusik para purnawirawan TNI Angkatan Darat. Sejumlah langkah yang bakal ditempuh pasca simposium ini mendapat kecaman mereka.
Dalam silaturahim Purnawirawan TNI AD dengan Ormas Keagamaan dan Kepemudaan di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (13/05), pembahasan tentang simposium 65 ini pun mengemuka.
Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AD, Letjen TNI Purn Suryadi, misalnya. Ia mengecam pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan yang menyebut simposium itu sebagai upaya pencarian sejarah tentang PKI.
"Statement Menko Polhukam mengatakan pertemuan ini ingin ungkap sejarah sebenarnya. Gila dia. Siapa sih dia itu?" kata Suryadi
Suryadi mengatakan, tidak ada yang perlu dilanjutkan dalam penelusuran sejarah itu. Menurut dia, peristiwa 65 adalah pemberontakan yang ingin menggantikan ideologi negara. "(kok bilang) Tidak ada yang salah tidak ada yang benar. Orang berontak untuk mengganti ideologi negara kok enggak salah," ujar dia.
Lebih jauh, Suryadi justru mempertanyakan asal dana digunakan untuk menggelar simposium yang dilakukan oleh Menko Polhukam beberapa waktu lalu itu. "Pertama adalah orang yang berbuat memberontak difasilitasi, kalau pemerintah memfasilitasi ini, duitnya dari mana? Anggarannya dari siapa? Tentunya pemerintah. Anggaran pribadi malah salah besar. Mohon maaf kepada presiden kita, setiap dia pulang dari luar negeri pasti membawa oleh-oleh seperti ini," ujar Suryadi.
Mestinya sambung dia, kalau tidak didanai dan difasilitasi oleh kekuatan yang besar, harus dicari siapa yang memberikan sokongan dana. "Kekuatan yang besar di antaranya adalah oknum di pemerintahan. Bikin film, demo kegiatan di Jatim, tidak kecil. Dari mana uangnya?" tanya dia.
Suryadi bahkan menyinggung-nyinggung soal kasus reklamasi yang saat ini menjadi sorotan publik, meski tidak menjelaskan lebih rinci maksudnya. "Ada kaitannya dengan reklamasi? Wallahualam, ada kaitannya dengan gubernur kita? Wallahualam. Mereka sudah di depan mata," tegas Suryadi.
Untuk itu, Suryadi mengajak masyarakat berbuat gerakan menolak tumbuhnya PKI dan menunjukkan pada para oknum pemerintah yang berniat membangkitkan PKI. "Mari kita berbuat sesuatu, tunjukkan pada mereka. Kalo kita lebih banyak. Oknum pemerintah juga membiayai mereka ke luar negeri. Gila gila. Siapa dia? Mari kita sama-sama. Tunjukkan pada mereka, kita masih ada! Bukan dia!," tandas Suryadi.
Bukan hanya Suryadi, Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu yang juga menyatakan penolakannnya terhadap simposium 65. "Satu Pancasila, kalau enggak Pancasila, kita beda pendapat," ujar Ryamizard.
Ryamizard juga keberatan dengan gerakan pasca simposium. Ia terang-terangan berseberangan dengan rencana Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965 sesuai instruksi Presiden Joko Widodo.
Ryamizard khawatir rencana pembongkaran kuburan massal korban peristiwa 1965 justru akan menimbulkan konflik baru. "Justru itu. Bongkar-bongkar kuburan kalau semuanya marah? Berkelahi semua," ujar Ryamizard.
Menhan mengingatkan agar semua pihak tidak memprovokasi dan mengundang terciptanya pertumpahan darah. Pembongkaran kuburan massal itu dianggap Ryamizard bukannya membangun negara, justru merusak negara. "Saya sebagai Menhan tentunya menginginkan negara ini tidak ada ribut-ribut, damai," tutur Ryamizard.
© Copyright 2024, All Rights Reserved