KEPEMIMPINAN merupakan elemen penting dalam tata kelola organisasi. Zaman telah berubah dengan cepat, banyak pemimpin muncul tenggelam akibat tuntutan dan kondisi lingkungan atau karena usia.
Dewasa ini adalah masa generasi milenial (biasa disebut generasi langgas). Dalam konteks kepemimpinan milenial, cara kerja dan ritmenya pasti sedikit berbeda dengan generasi terdahulu. Sepanjang pemenuhan kualifikasi sebagai pemimpin terpenuhi maka tidak ada alasan untuk menggugurkannya. Kredibilitas, kemampuan intelektual dan manajerial, dan visi adalah takaran pertama dan terpenting.
Untuk proses perubahan, kepemimpinan model lama kurang relevan dan oleh karenanya harus dikoreksi dan dikembangkan. Generasi muda Indonesia akan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Generasi milenial tidak bisa lagi dipimpin dengan pendekatan klasik-kaku, harus dipimpin dengan gaya yang fleksibel tanmpa mengangkangi prinsip, asas, dan aturan.
Generasi milenial secara umum ditandai oleh masifnya penggunaan teknologi dan inovasi digital yang bergerak cepat dan masif. Karakteristik milenial tentunya berbeda-beda, pengarug geogarfi --wilayah, kondisi sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, bahkan budaya.
Menurut Bruce Horovitz (2012) William Straus dan Neil Howe dianggap sebagai pencetus awal istilah milenial. Straus dan Howe pertamakali menggunakan istilah milenial tahun 1987, di saat anak-anak yang lahir tahun 1982 masuk pra-sekolah, dan media mulai menyebutnya sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru tahun 2000.
Straus dan Howe menulis dua buku. Pertama “Generations: The of History of America’s Future Generations, 1584 to 2069” terbit tahun 1991. Kedua, “Millennials Rising: The Next Great Generation” yang terbit tahun 2000. Strauss dan Howe percaya bahwa setiap generasi mempunyai karakteristik umum yang akan menjadi karakter generasi itu. Menurut mereka, karakter milenial yaitu: spesial, terlindungi, percaya diri, berwawasan kelompok, tahan tekanan dan mengejar pencapaian.
Dalam konteks Indonesia, apa yang dikatakan Straus dan Howe memang terlihat, namun demikian belum sepenuhnya ada pada milenial kita. Banyak tantangan yang harus diselesaikan.
Muda itu Kekuatan
Berbagai penelitian menyebut tahun 2030 adalah akhir dari generasi Baby Boomer. Di Amerika Serikat dan banyak negara termasuk Indonesia, generasi milenial sudah mendominasi berbagai sektor pekerjaan. Mulai dari manajemen perusahaan, entrepreneur, organisasi-organisasi non pemerintahan (CSO), bahkan politisi seperti anggota legislatif, menteri, staf Presiden, kepala daerah, kepala desa, diisi oleh generasi muda.
Dalam konteks pemerintahan, fenomena Presiden Mikheil Saakashvili yang “naik tahta” di umur 37 tahun menggantikan Eduard Shevardnadze, melalui sebuah revolusi damai bernama Revolusi Mawar. Saakashvili membangun Kabinet yang didominasi menteri berusia 30-40 tahun.
Ia mengirimkan pesan kalau para pemimpin “tua” yang dianggap lamban dan koruptif sudah saatnya keluar dari urusan kebijakan publik. Dalam konteks isu yang lebih besar, dua tokoh usia lebih belia dari generasi milenial tetapi menjadi ikon yaitu Malala dan Greta Thunberg telah menginspirasi banyak orang di dunia. Malala ikon perdamaian dan Greta ikon penyelamatan lingkungan yang diakui oleh berbagai pemimpin negara dan pemimpin keagamaan.
Universitas juga demikian. Di Indonesia misalnya, I Gusti Ngurah Made Yudhi Spautra terpilih jadi Dekan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Bali Internasional di usia 33 tahun (2021). Atau sosok Dian Syahfirtri menjadi Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNPRI Sumatera Utara di usia 28 Tahun (2015). Hal serupa terjadi pada Risa Santoso menjadi Rektor Institut Teknologi dan Bisnis ASIA Malang di usia 27 tahun (2019).
Dalam hal ekonomi digital juga demikian, didorong oleh para milenial. Industri transportasi semacam Gojek didirikan oleh anak muda. Inklusi keuangan dan digitalisasi UMKM dilakukan start-up.
Fenomena ini, setidaknya mencegah paradoks young country, old leaders. Sebuah satire yang ditulis oleh Sanjay Kumar, Direktur Mittal Institute, Universitas Harvard yakni sebuah kondisi yang ditengarai akan menciptakan kondisi dimana suatu negara tidak bisa memenuhi harapan dari kebanyakan masyarakatnya yang mayoritas sudah berusia muda.
Apapun dinamikanya, kiprah kaum muda telah eksis dan akan terus bergerak kemasa depan. Indonesia sudah punya ini, bukankan era kemerdekaan di penuhi anak-anak muda yang visioner dan intelektualis. Apa yang dipotret Sheila Kinkade dan Christina H. Macy (2015) dalam buku Our Time is Now, Young People Changing the World bahwa abad 21 adalah abad kaum muda beserta kiprah yang dapat mereka lakukan kepada perubahan dunia adalah keniscayaan.
Dengan dominasi generasi Z. Sensus Penduduk Tahun 2020 menunjukan jumlahnya mencapai 74,93 juta (27,94%) dari total penduduk Indonesia 273,5 juta. Mereka adalah penduduk berusia 8 hingga 23 tahun. Belum semua usia mereka produktif, namun delapan tahun lagi generasi ini akan masuk usia produktif.
Selanjutnya generasi milenial sebanyak 69.38 juta (25,87%). Milenial inilah yang sudah masuk usia produktif. Data juga menunjukan kalau populasi millenial didalam suatu organisasi atau institusi rata-rata 50-60%, dan diperkirakan jumlah ini akan terus tumbuh hingga 75% pada 2025. Bagi bangsa Indonesia ini adalah peluang emas yang harus di konversi menjadi kekuatan bangsa.
Syarat Minimal
Ada empat cara kepemimpinan yang relevan untuk para millennial sebagaimana ditulis dalam buku Lead or Leave It to Millennials oleh Jazak Yus Afriansyah (2020). Pertama adalah, bangkitkan mereka dengan cara encouraging ideas atau mendorong mereka menyampaikan ide-ide kreatif dan inovasinya. Kedua, berikan sentuhan modifying ideas atau modifikasi ide-ide mereka, mengapa? karena, meskipun generasi milenial ini sangat kreatif dan inovatif, jelas tidak semua ide-ide mereka applicable atau bisa dilaksanakan. Ketiga adalah providing feedback atau menghadirkan umpan balik bagi mereka, cambukan ini begitu berdaya guna memastikan para generasi muda ini terus membara dengan motivasinya sehingga mereka akan mulai mengaum kembali. Keempat adalah give alternative and limited direction artinya, beri mereka alternatif dan arahan atau perintah yang terbatas.
Lantas, bagaimana gaya kepemimpinan milenial yang memungkinkan berhasil. Pertama pemberdayaan anggota. Salah satu yang menonjol dari kepemimpinan milenial adalah mampu merangkul anggota layaknya suatu keluarga. Kedua, berkomunikasi tanmpa sekat, tidak berbelit-belit. Generasi milenial sangat senang berkomunikasi dengan orang-orang, terutama dengan anggotanya ketika ia menjadi seorang pemimpin. Selain itu, generasi milenial juga mengekspresikan pikiran mereka secara terbuka. Ketiga, respon cepat. Pemimpin milenial cepat tanggap dalam mempertanyakan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan misalnya kebijakan. Keempat, daya kreatifitas dan inovasi yang tinggi. Generasi milenial selalu dicap dengan generasi yang penuh kreatifitas dan inovasi yang tinggi. Kelima, kolaboratif. Perbedaan yang menonjol dari gaya kepemimpinan milenial dengan generasi baby boomer ada pada penekanan kolaborasi. Setiap orang dapat berbagi pendapat dan berkolaborasi ketimbang fokus pada hirarki.
Tentu, menjadi seorang pemimpin milenial yang baik menjadi satu tantangan yang kritis. Pemimpin itu harus bisa beradaptasi dengan tuntutan zaman, siapapun bisa jadi pemimpin sepanjang kualifikasinya terpenuhi, jadi bukan lagi faktor umur. Sekali lagi, kemampuan (kapasitas maupun manajemen), integritas dan komitmen pengabdian adalah tolak ukurnya. Umur hanya angka, jadi sekalipun masih muda jika punya portofolio yang kuat, why not!
*Penulis adalah Pengurus Perhimpunan Pemilih Indonesia/PPI DKI Jakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved