Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) Tanjung Perak Dwi Tjahyono Sukarso semakin terpojok. Setelah terjerat kasus {illegal logging}, mulai Selasa (8/5) orang nomor satu di KPBC Tanjung Perak itu juga resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Sebelumnya Dwi Tjahyono ditangkap Kapolda Jatim Irjen Pol Herman S. Sumawiredja karena penyelundupan sepuluh kontainer kayu merbau milik PT Inti Prospek Sentosa (IPS). Saat itu, Dwi langsung diperiksa oleh tim Satuan Pidana Tertentu (Satpidter) Polda. Tim itu khusus menyelidiki keterlibatan pejabat bea dan cukai (BC) tersebut dalam kasus {illegal logging}.
Setelah diselidiki ternyata Dwi berindikasi melakukan korupsi, karena itu Polda Jatim juga melakukan penyelidikan yang ditangani secara khusus oleh tim Satpidkor (Satuan Pidana Korupsi). Setelah mengumpulkan bukti dan keterangan, tim Satpidkor pimpinan AKBP Setija Junianta akhirnya menetapkan Dwi sebagai tersangka korupsi.
Menurut AKBP Setija, Dwi dijerat pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Korupsi. Unsur pidana korupsi Dwi berasal dari denda yang ditetapkan kepada PT IPS.
Versi penyidik, denda Rp 1 juta yang dijatuhkan oleh kepala KBBC tersebut melanggar UU dan mengakibatkan kerugian negara. "Denda yang dijatuhkan kepada PT IPS hanya sanksi administratif. Padahal, kasus penyelundupan itu bisa menjadi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 103 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan," jelas Setija.
Dalam UU Kepabeanan tersebut, lanjut Setija, seharusnya PT IPS yang menyelundupkan kayu dijatuhi denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 5 miliar. Di sinilah letak kerugian negara dan unsur korupsinya. "Kenapa dendanya cuma Rp 1 juta? Akibat denda itu, negara juga dirugikan," ungkap Setija dengan sungguh-sungguh.
Dalam penyelidikan kasus korupsi tersebut, menurut Setija, pihaknya sudah memeriksa dua pejabat bea cukai. Dalam pemeriksaan, mereka menguatkan tudingan bahwa Dwi menjatuhkan sanksi Rp 1 juta kepada PT IPS. Polisi juga sudah berkoordinasi dengan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). "Kami sudah koordinasi secara informal dengan mereka," ujar AKBP Setija.
Polisi juga mengaku memiliki bukti berupa surat penetapan Pengadilan Negeri Surabaya. Penetapan itu menguatkan denda Rp 1 juta yang dijatuhkan Dwi kepada PT IPS. "Setelah dijatuhi sanksi, PT IPS memang minta penetapan ke pengadilan," papar mantan Kasatpidum Polda Jatim itu. Lalu, apa alasan Dwi hanya menetapkan denda Rp 1 juta kepada PT IPS? Dalam pemeriksaan, pria kelahiran Surabaya yang lama menetap di Jakarta itu menyebutkan tiga alasan.
"Pertama, tidak ada unsur kesengajaan. Sehingga, dalam kasus ini, tersangka menggunakan sanksi administratif," kata Setija. Kedua, Dwi beralasan ragu apakah pelanggaran oleh PT IPS itu memang bisa dijerat secara pidana.
Alasan ketiga, kepada penyidik, Dwi mengaku tidak tahu UU nomor 17 tahun 2006. Akibatnya, dia tidak menetapkan denda sesuai UU tersebut. "Menurut tersangka, dia masih berpatokan pada UU Kepabeanan yang lama," ungkap Setija.
Lantas, berapa kerugian negara dalam kasus tersebut? Setija masih belum bisa menyimpulkan. "Kami masih menelusurinya. Karena itu, kami juga akan memeriksa saksi-saksi lain," paparnya.
Selain itu, Polda Jatim, menurut AKBP Setija juga sudah menyelesaikan penyidikan kasus 16 kontainer rotan asalan bermasalah milik PT Perkasa Makmur Wood (PWM). Polisi sudah mengirim BAP (berita acara pemeriksaan) kasus itu ke JPU (jaksa penuntut umum). "Berkasnya sudah kami kirim kemarin (Senin, Red)," jelas perwira yang juga pernah menjabat Kabag Analis Polda Jatim itu.
Dalam BAP, penyidik menjadikan pemilik rotan, Liem Chaong Look, sebagai tersangka. Pria yang kini mendekam di tahanan Medaeng itu dianggap merugikan negara Rp 1,3 miliar dengan cara menyelundupkan 16 kontainer rotan ke Tiongkok. Kerugian negara timbul karena manipulasi data di dalam dokumen PEB (pemberitahuan ekspor barang). Dalam dokumen itu, disebutkan bahwa kontainer berisi handycraft, bukan rotan asalan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved