[Dari redaksi:] {Proses kewarganegaraan Indonesia terhadap ratusan eks mahasiswa ikatan dinas di zaman Orde Lama, yang belajar ke sejumlah negara, tetapi tidak berani pulang kembali ke Indonesia pasca peristiwa G30S/PKI tahun 1965 lalu kini jadi perbincangan ramai}.
{Tulisan berikut ini, adalah tanggapan dari salah seorang eks mahasiswa Ikatan Dinas pada zaman Orla yang kini menetap di Paris, Perancis. Tulisan ini terdiri dari dua bagian.}
[Bagian I ]
Harian Jawa Pos pada tanggal 26 Agustus 2006 menyiarkan sebuah berita menarik. “..... {Para mahasiswa zaman Orde Lama (Orla) yang memperoleh beasiswa ke luar negeri diminta pulang ke Indonesia. Saat ini, 577 mahasiswa Orla hidup di beberapa negara, terutama Eropa. Selama ini, mereka tidak bisa kembali ke Indonesia karena dipersulit pada masa Orde Baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengutus Menkum dan HAM Hamid Awaluddin selaku fasilitator yang mewakili pemerintah untuk rencana pemulangan tersebut. Kebijakan itu dilandasi semangat rekonsiliasi pasca penerbitan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan}.
"{Mahasiswa era Orde Lama itu tersebar di Eropa. Jumlahnya sekitar 577 orang yang masih hidup. Umurnya 70 tahun ke atas. Mereka selama Orde Baru tertutup pulang ke tanah air. Saya mencoba memulangkan mereka," kata Hamid dalam perbincangan dengan wartawan di gedung Depkum dan HAM Jakarta kemarin. Hamid mengaku telah bertemu dengan Menlu Hassan Wirajuda untuk mempermudah birokrasi dokumen kewarganegaraan terhadap ratusan eks mahasiswa tersebut. "Saya sudah menemui Menlu," kata Hamid.
“Informasi di Deplu, mayoritas eks mahasiswa tersebut kini menetap di Belanda dan sebagian lagi di kawasan Eropa Timur. Hamid bakal memulai penjajagan pemulangan mereka dengan menemui perwakilan eks mahasiswa Indonesia di Amsterdam, Belanda. Hamid menyatakan, SBY tidak mempermasalahkan kemungkinan mereka bakal mengembangkan ideologinya di tanah air. Menurut dia, pemulangan mereka sama sekali jauh dari permasalahan politis. "Presiden tidak mempermasalahkan (ideologi) mereka. Ini demi kemanusiaan. Kita memfasilitasi mereka yang rindu ingin pulang ke tanah air. Ini dilatari semangat rekonsiliasi terkait UU Kewarganegaraan," jelas menteri asal Sulsel itu.
“Berdasar informasi yang dikumpulkan koran ini, eks mahasiswa Indonesia tersebut sesampai di tanah air akan melewati pemulihan hak-hak kewarganegaraannya yang hilang selama 40 tahun lebih. Salah satunya, kepastian mendapatkan status WNI}. (Kutipan dari Jawa Pos selesai)
[Kejahatan politik dan moral yang besar]
Banyak komentar dari berbagai kalangan menanggapi rencana pemerintahan SBY-Jusuf Kalla tentang “pemulangan para mahasiswa era Orla” ini, dengan menyorotinya dari banyak segi. Tulisan ini mencoba untuk melihatnya dari segi-segi lainnya yang belum disentuh, dan memperkuat atau menggarisbawahi segi-segi yang sudah diangkat oleh berbagai tanggapan itu.
Apa yang direncanakan pemerintah SBY-JK untuk pemulangan para mahasiswa yang dicabut paspornya atau terpaksa hidup merantau di luar negeri adalah bukan suatu rencana “kemanusiaan” Presiden SBY yang hebat, yang perlu dipuji kelewat batas. Apalagi, disertai pula dengan ilusi yang tidak-tidak. Sebab, sebenarnya, dan semestinya (!), sikap ini adalah merupakan KEHARUSAN bagi setiap pemerintahan dari negara yang betul-betul beradab, demokratis dan menghargai HAM.
Apa yang direncanakan itu - kalau nantinya memang terbukti betul-betul dilaksanakan ! - adalah merupakan koreksi dari kesalahan besar rejim militer Orde Baru, yang diteruskan selama lebih dari 40 tahun. Kesalahan besar ini adalah kesalahan politik dan kesalahan moral. Kesalahan besar ini adalah juga KEJAHATAN yang tidak tanggung-tanggung, sebab dilakukan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama sekali. Dan kejahatan yang berupa pelanggaran HAM yang keterlaluan menyoloknya ini sama sekali bukanlah sesuatu yang bisa dibangga-banggakan sebagai bangsa yang beradab. Dan lagi pula, pelanggaran HAM terhadap begitu banyak orang itu – dan, nota bene, selama puluhan tahun ! -- adalah juga pengkhianatan terhadap Pancasila dan pendurhakaan terhadap Bhinneka Tungal Ika.
Lalu, apa sebabnya pemerintahan SBY-Jusuf Kalla sekonyong-konyong, atau mendadak sontak, mengumumkan rencana pemulangan para “mahasiswa era Orla” ? Apakah betul-betul seperti yang dikatakan Menkum dan HAM Hamid Awaluddin bahwa hal itu “dilandasi semangat rekonsiliasi”? Dan, apakah sungguh-sungguh (seperti kata Hamid Awaluddin lagi) : “SBY tidak mempermasalahkan kemungkinan mereka bakal mengembangkan ideologinya di tanah air. Menurut dia, pemulangan mereka ini sama sekali jauh dari permasalahan politis ". Atau, apakah benar-benar bahwa rencana pemulangan para mahasiswa era Orla “Ini demi kemanusiaan”.?
Perlu kiranya sama-sama kita perhatikan, bahwa kalau sebagian orang memandang apa yang direncanakan pemerintahan SBY-Jusuf Kalla itu sesuatu yang positif, maka banyak orang pula yang melihatnya dengan kecurigaan atau dengan berbagai pertanyaan.
[Istilah rekonsliasi dan kemanusiaan “mereka”]
Dari berbagai pertanyaan yang muncul itu, diantaranya; mengapa rencana yang “dilandasi semangat rekonsiliasi” atau “kemanusiaan” itu melulu ditujukan hanya kepada para mahasiswa era Orde Lama yang ’konon’ jumlahnya 577 orang dan tersebar di berbagai negara Eropa (Barat dan Timur), sedangkan orang-orang yang {“klayaban”} di luar negeri (meminjam istilah Gus Dur) yang berasal dari banyak kalangan, seperti (antara lain) anggota DPR/MPR, pimpinan serikat buruh dan organisasi tani, wanita, pemuda, seniman, wartawan, pegawai negeri, intelektual, dll dll.? Apakah “semangat rekonsiliasi” dan “kemanusiaan” yang dijajakan oleh pemerintah itu tidak berlaku bagi begitu banyak orang “klayaban” lainnya di luar negeri?
Dalam kaitan ini, juga penggunaan kata “rekonsiliasi” terasa berlebih-lebihan dan sekaligus juga bisa menyesatkan. Sebab, bisa dipertanyakan “rekonsiliasi” antara fihak-fihak yang manakah, dan atas dasar apakah? Karena, kita melihat dengan jelas bahwa “masalah mahasiswa era Orla” (dan orang-orang “klayaban” lainnya) yang dicabut paspornya atau dilarang kembali ke tanah-air dalam jangka lebih dari 40 tahun adalah hanya sebagian dari akibat besar kesalahan politik (atau, lebih tepatnya; kejahatan politik) yang dilakukan oleh Orde Baru-nya Soeharto dkk. Dan kita semua juga menyaksikan sendiri bahwa “mereka” yang bertanggung-jawab dalam pemerintahan Orde Baru itu tidak pernah secara terang-terangan - dan secara jujur atau tulus - minta ma’af atas berbagai kejahatan politik mereka di masa yang lalu dan mengkoreksinya. Rekonsiliasi (yang sungguh-sungguh!) hanya bisa dibangun bersama, kalau fihak yang melakukan kejahatan atau kesalahan telah mengakui dosa-dosanya dan juga memperbaikinya (secara sungguh-sungguh pula!!!)
Justru hal-hal penting yang berkaitan dengan “rekonsiliasi” dan “kemanusiaan” inilah yang selama puluhan tahun, sampai sekarang, belum dilaksanakan. Buktinya, kasus para korban peristiwa 65, yang jumlahnya puluhan juta orang di seluruh Indonesia (beserta keluarga mereka) dan para eks-tapol, yang telah selama lebih dari 40 tahun menanggung berbagai macam penderitaan, masih berjuang terus - dengan susah payah -- terhadap berbagai pemerintahan untuk memperoleh kembali hak-hak mereka sebagai warganegara yang dihargai sebagai manusia biasa. Kalau presiden SBY atau Menteri Hamid Awaluddin mau bicara tentang “kemanusiaan” dengan serius dan tulus, maka sebaiknya atau seyogianyalah mereka ingat juga kepada kasus para korban peristiwa 65 (termasuk para eks-tapol) yang jumlahnya begitu banyak, dan yang umumnya sudah tua renta , menjelang akhir hidup mereka.
Mereka yang terpaksa bermukim di luar negeri (termasuk “para mahasiswa era Orla”) adalah merupakan bagian dari masalah besar para korban rejim militer Orde Baru, yang banyak sekali terdapat di seluruh Indonesia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved