TULISAN ini sebagai respons terhadap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kampanye 500 juta Benih Bening Lobster (BBL) ilegal keluar dengan cara diselundupkan.
Lalu playing victim, seolah ingin dipuji karena bekerja menangkap penyelundup benih dengan jumlah 1,34 juta ekor BBL.
Ingin dipuji dan dibilang bangga, padahal gagal total kelola benih bening lobster. Khawatirnya, ini bagian dari bancakan BBL.
Spesies yang dominan dalam perikanan adalah Lobster Mutiara. Spesies lobster terbanyak di perairan Pulau Sumbawa dan Lombok. Menurut ACIAR (2020) bahwa potensi benih lobster berdampak pada surplus pendapatan masyarakat, sekaligus meningkatkan ekonomi bagi masyarakat dan negara.
Hal itu bisa diperoleh melalui skema industri budidaya lobster dan ekspor benih bening lobster. Keberadaan stok sumber benih (Sink Population) diprediksi tahun 2024 sebanyak 24,8 miliar benih bening yang berasal dari jutaan Induk Lobster perairan Australia dan Samudera Hindia.
Indonesia mendapat keberkahan dan Rahmat Tuhan yang melimpah. Karena benih bening lobster berasal dari perairan negara lain seperti Australia dan Papua Nugini. Atas migrasi benih lobster ini, dalam waktu 190 hari ke Samudera Hindia, Indonesia panen dan surplus sumber daya benih. Bila potensi Indonesia sebesar itu, maka analisa ekonomi lobster harus libatkan ekosistem dan perbaikan regulasi, sehingga bisa ketemu hubungan antara kutub ekonomi dan lingkungan, yang selama ini kontra.
Menurut data KKP tahun 2024 ini, bahwa: negara mengalami kerugian besar imbas penyelundupan BBL ke luar negeri. Tentu di sisi ekonomi, kerugian negara capai triliunan rupiah dengan estimasi jumlah BBL yang keluar dari Indonesia secara ilegal capai 500 juta ekor setiap tahun. Akibat penyelundupan benih lobster dilakukan para pelaku melalui jalur darat, laut, serta udara. Area rawan mulai dari pengepul, pelabuhan penyeberangan, pintu keluar bandara, dan jalur laut.
Persoalannya, KKP hanya bisa melakukan pengawasan dan playing victim (harap belas kasihan) publik agar dikenal tegas. Namun, sebenarnya KKP gagal kelola dan atur tata niaga benih bening lobster. Padahal KKP sendiri sudah mengetahui modus operandi penyelundupan yang dipakai para pelaku cukup beragam, mulai dari bertindak sebagai pengepul BBL, berganti-ganti mobil saat membawa BBL, menggunakan koper berisi BBL ketika di bandara, hingga memakai kapal berkecepatan tinggi atau yang biasa disebut dengan kapal hantu.
Ragam model penyelundupan itu, tak mungkin terjadi, kalau hanya dilakukan nelayan biasa. Tentu, dibalik penyelundupan itu ada peran backup aparat. Namun, narasi KKP selalu menyalahkan nelayan sebagai penyelundup. Inilah bagian dari kegagalan KKP dalam penegakan pengawasan terhadap sumberdaya alam.
Khawatirnya lagi, apa yang disebut "Kapal Hantu" sebagainya alat penyelundupan itu difasilitasi oleh aparat di lindungi oleh pemerintah sendiri atas kehendak para pengepul jahat. Lebih kacau, ketika KKP menangkap pelaku penyelundupan benih, lebih dari 1,34 juta ekor BBL yang diklaim berhasil diselamatkan aparat penegak hukum dari para pelaku penyelundupan sepanjang 2023. Sedangkan hingga Mei 2024, jumlahnya sudah hampir 1 juta ekor.
Tentu, publik tidak percaya dengan peristiwa penangkapan benih yang diselundupkan itu. KKP belum pernah merilis, kemana benih itu dilepaskan? Apakah dijual terselubung kembali atau dibuang begitu saja. Logikanya, benih bening itu dari mulai ditangkap nelayan, hitungan 15 hari sudah menguning warnanya. Artinya, rentang waktunya antara saat ditangkap nelayan dengan penyelundupan butuh waktu lebih 15 hari. Kalau sudah menguning, tak bisa dibudidaya lagi atau dilepas kembali ke laut. Lalu, benih bening itu kemana?.
Penyelundupan BBL per 5 tahun ini, ternyata sangat besar capai 5 miliar ekor. Hampir tiap hari ada yang masuk ke vietnam dari Indonesia. Terutama Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok (penyelundupan lebih kurang 150 juta benih setiap tahun). Masalahnya, belum ada teknologi in house breeding, adanya cuma tangkap alam, ekspor dan budidaya, itupun dilarang.
Sementara, Survival Rate di alam 0,01% dari 1 juta bibit yang ditelurkan hanya bisa lolos dari plankton cuma 1 ekor. Kalau pun dibudidaya, tak akan bisa sesuai harapan. Karena waktunya budidaya dengan modal tak akan mencapai keuntungan. Karena terkait siklus, waktu, dan teknologi. Selama 5 tahun ini gak ada perkembangan budidaya lobster, hanya ada pelarangan tangkapan. KKP juga gagal total dalam program Shrimp Estate (budidaya udang), sementara anggaran negara sudah dibancakan.
Apalagi, setiap orang yang melaksanakan ekspor Benih Bening Lobster dan penjualan domestik dapat dikenakan kewajiban bayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per satuan ekor Benih Bening Lobster dengan nilai yang ditetapkan oleh Kementerian keuangan. Namun, skema ini, tak pernah disetujui oleh Kemenkeu. Peraturan PNBP tak pernah dikeluarkan khusus BBL, sehingga tetap ilegal. Walaupun, regulasi payung hukum diterbitkan oleh KKP.
Kalau skenario BBL dilegalkan dan ditambah lobster konsumsi, maka aspek PNBP untuk lobster budidaya (konsumsi) sebesar 50.000. Maka 50.000 per Kg x 1,5 juta ton per tahun = Rp75 triliun per tahun. Sedangkan skenario PNBP Benih Bening Lobster hasil tangkapan nelayan sebesar 10.000u. Maka 20.000 per ekor x 1 miliar BBL per tahun = Rp100 triliun per tahun.
Kemudian, kalau negara bebankan juga PNBP kepada organisasi nelayan penangkap, maka hitungannya rasional, misalnya: 1 ekor benih nilai PNBP-nya: Rp1.000 per ekor x 100 juta kuota benih per 1 organisasi nelayan. Berarti jumlah PNBP-nya: Rp1 miliar per tahun per 1 organisasi nelayan. Kalau 1 miliar x 200 organisasi nelayan berarti Rp200 miliar.
Hitungan ekonominya bisa mencapai triliunan rupiah, bisa pakai melunasi utang negara, menambah stok APBN, pembangunan kesejahteraan dan penambahan sumber target APBN disektor lainnya. Kira-kira pilih skenario yang mana? Skenario legal yang untungkan negara atau skenario ilegal (black market) yang untungkan pasar gelap tanpa sedikit pun masuk ke kas negara?
Untuk mendorong potensi pendapatan sebesar itu, maka tentu strategi yang harus dilakukan yakni perbaikan regulasi. KKP jangan hanya playing victim atau menunggu belas kasihan publik. KKP harus merancang peraturan (regulasi) yang progresif dan responsif yang menganut asas adil dan objektif.
KKP selama ini gagal total dalam merespons fenomena BBL dan black market. KKP gagal membaca peluang tata niaga dan pertumbuhan jumlah: penangkap, konsumsi dan ekspor lobster dan BBL. Sehingga perlu didorong perubahan: regulasi, mental, dan sikap pada pejabat KKP sehingga menemukan formulasi yang baik untuk kepentingan negara.
*Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)
© Copyright 2024, All Rights Reserved