[Kasus tanah Meruya Selatan membuktikan bobroknya sistem administrasi pertanahan di Indonesia. Dualisme dalam kepemilikan atas tanah ini adalah buah kerja mafia pertanahan yang hingga kini tak juga tersentuh tangan-tangan hukum.]
Kasus sengketa tanah di Meruya, Jakarta Barat tiba-tiba menghentak perhatian publik. Paska keluarnya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan tanah seluas 44 hektar di wilayah Meruya sebagai milik yang sah dari PT Porta Nigra, orang-orang terhenyak. Lho enapa bisa begini.
Pasalnya diatas tanah itu sudah berdiri ribuan bangunan milik masyarakat. Bukan itu saja, ada pula sebuah universitas, kavling sebuah bank pemerintah, kavling milik pemda DKI, perumahan karyawan DPR, sekolah, mesjid dan gereja serta properti komersial.
BPN Jakarta Barat telah mengeluarkan ribuan sertifikat untuk warga Meruya. Rinciannya, sertifikat untuk hak milik ada 4.228, sertifikat hak guna bangunan 1.908 bidang dan sertifikat hak pakai 90 bidang diatas lokasi tanah tersebut. Dari semua sertifikat itu, ada pula yang digunakan sebagai jaminan yaitu sertifikat hak milik 451 bidang dan hak sertifikat guna bangunan 312 bidang. Jumlah nilai yang diagunkan adalah Aus$318.700, US$4.525.404 dan Rp517.387.499.876. Kini, putusan MA, mengatakan lain. Portanigra lah yang berhak atas tanah tersebut.
Sontak semua orang bereaksi. Masyarakat Meruya Selatan tentu saja tak bisa terima putusan MA tersebut. Mereka bersatu melawan. Pembelaan pun muncul dari berbagai pihak termasuk sejumlah pejabat. Anggota DPR, DPRD DKI, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua MPR Hidayat Nurwahid turut menyatakan dukungan atas perlawanan warga Meruya.
Bahkan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyatakan pasang badan untuk membela kepentingan warga Meruya Selatan. “Saya akan bela sampai titik darah penghabisan,” kata Sutiyoso berapi-api.
Warga Meruya tak bisa dipersalahkan, karena mereka membeli tanah itu secara sah dan kemudian mengurus bukti kepemilikannya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa tanah tersebut sebenarnya sudah ada pemiliknya.
Namun begitu, Porta Nigra pun tidak dapat disebut sebagai pihak yang bersalah. Mereka adalah pihak pertama yang membeli tanah tersebut secara sah dari Juhri, Muhamad Yatim dan Yahya Geni. Belakangan girik tanah tersebut dipalsukan oleh Juhri Cs dan dijual kembali kepada pihak lain.
Seperti kata pengacara Porta Nigra, Yan Juanda bahwa pihaknya dan warga Meruya adalah korban dari kasus ini. “Kita sama-sama dizalimi,” kata Yan.
Jika ditilik lebih dalam ada beberapa kesalahan yang menjadikan kasus ini sedemikian rumit. Kelompok pertama adalah Juhri, Muhamad Yatim dan Yahya Geni. Mereka inilah orang yang telah menjual lahan Meruya Selatan tersebut kepada Porta Nigra pada kurun 1972-1973, namun setelah itu dia memalsukan surat-surat tanah tersebut dan menjual kembali pada pihak-pihak lainnya.
Masalah ini sebenarnya dulu sempat mencuat dan meresahkan ibukota. Kopkamtib yang saat itu diketuai oleh Sudomo pun turun tengan melalui badan yang disebut Opstib (operasi tertib) yang kemudian menyita girik palsu dan diserahkan ke Kejaksaan Jakarta Barat dan Selatan.
Setelah melalui proses girik palsu itu diserahkan ke pengadilan dan Juhri Cs divonis setahun penjara. Barang bukti diserahkan kepada yang berhak yakni Porta Nigra dan girik palsunya dimusnahkan.
Rupanya saat proses persidangan berjalan, tanah tersebut diperjual-belikan dan dibangun warga. Ribuan warga bahkan kemudian mendapat sertifikat dari BPN. Entah dari mana sumber girik yang mereka dapatkan untuk kemudian dijadikan sertifikat. Padahal, girik aslinya sudah dikembalikan pada Porta Nigra, sedangkan girik palsu sudah dimusnahkan. Pertanyaannya, apakah girik palsu itu benar-benar dimusnahkan, atau dimanfaatkan oleh oknum tertentu?
Pertanyaan besar lainnya, bagaimana mungkin BPN masih mengeluarkan sertifikat tanah pada periode 1997-2001 untuk tanah tersebut, padahal saat itu tanah sengketa tersebut telah diletakkan sita jaminan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sita jaminan itu sendiri tentu sudah diketahui pula oleh BPN. Tidak mungkin pengumuman sita jaminan tidak ditembuskan ke BPN.
Dari sini muncul kecurigaan, ada “permainan” antara oknum aparat pemerintahan dengan pihak ketiga sehingga mempermulus kongkalikong tersebut dan berhasil menipu ribuan warga Meruya.
Kecurigaan ini pun sempat dilontarkan oleh Benjamin Mangkoedilaga, mantan Hakim Agung yang memutus kasus meruya tersebut. “Rakyat harus tenang, tidak usah diutak atik. Yang dipermasalahkan adalah mereka yang mengeluarkan sertifikat. Tanah yang disita oleh pengadilan tetapi tetap mendapat sertifikat dari BPN. Itu inti persoalannya,” kata Benjamin.
Walau terkesan membela diri, pernyataan Benjamin yang mengatakan salah besar jika masyarakat mencaci putusan MA ada benarnya juga. Hal ini karena sebagian masyarakat tidak mengerti duduk perkara sebenarnya. Jika mereka sadar, mereka akan beramai-ramai mendatangi BPN bukan mengadu ke DPR. Pasalnya, institusi inilah yang mengeluarkan sertifikat mereka.
Kasus ini adalah buah kerja mafia pertanahan. Seperti yang pernah diakui Benjamin, bahwa hampir sepertiga hidupnya selama di Pengadilan Tata Usaha Negara, 60 % kasus yang ditanganinya adalah terkait dengan kepemilikan tanah yang bersertifikat ganda. Seharusnya oknum mafia pertanahan inilah yang dikejar. Merekalah sumber malapetaka yang kini dirasakan warga Meruya. Oknum seperti ini harus mendapat ganjaran setimpal oleh hukum.
Tentang kasus yang ibarat “nasi yang sudah jadi bubur” ini, Benjamin pernah mengusulkan jalan tengah. Untuk kepastian hukum dan wujud keberpihakan kepada rakyat, sertifikat warga Meruya itu tidak usah diutak-atik. Namun begitu, Porta Nigra pun harus mendapatkan hak mereka kembali dalam bentuk kompensasi sebesar tanahnya yang hilang. Tanggung jawab kompensasi itu ada pada negara, yang telah berbuat kesalahan mengeluarkan dua kepemilikan diatas satu tanah. ***
© Copyright 2024, All Rights Reserved