Sesuai dengan janjinya setelah dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Perdagangan, Muhammad Luthfi akan menyelesaikan kasus impor beras Vietnam secepatnya. Kita tahu, bahwa kasus ini terkuak pada era Gita Wiryawan menjabat Menteri Perdagangan.
Luthfi, kepada wartawan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis 13 Februari 2014 menegaskan akan segera menuntaskan kasus beras impor tersebut.
Kata Luthfi harus ada tindakan tegas untuk menyelesaikan persoalan beras Vietnam ini. "Harus ada tindakan tegas untuk menemukan mana yang salah dalam pembuatan kebijakan tersebut."
Namun Luthfi meminta waktu untuk mempelajari kelemahan dari sistem yang ada. Sistem yang membuat beras premium masuk ke indonesia dengan harga murah.
"Kami akan mengetahui permasalahan dalam waktu singkat dan mempelajari suatu kelemahan sistem dan kecurangan didalamnya," ujar Luthfi.
Terkait kode importasi, Luthfi yang juga mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini juga tengah mengkaji sistem pengkodean dengan melibatkan instansi yang terkait.
"Kode pengimporan yang menyebabkan kericuhan akan kami kaji lagi. Semua dilakukan dengan melibatkan instansi yang terkait," ujar Luthfi.
Genap 27 hari, tidak sampai 1 bulan dari komitmennya ingin menyelesaikan kasus impor beras Vietnam, pada Selasa 11 Maret 2014, Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi menyatakan Kementerian yang dipimpinnya siap dipersalahkan dalam hal impor beras Vietnam pada Februari lalu.
“Kalau yang salah dalam persoalan ini, biar salahkan Kementerian Perdagangan," ujar Luthfi kepada pers, disela pembukaan acara Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2014 di Jakarta.
Kata Luthfi, berdasarkan surat yang dilayangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Kemendag, ada beberapa masalah yang harus dibereskan.
Pertama terkait kode HS beras (HS code). Seperti diketahui, kode HS untuk beras umum premium dan medium, dengan beras khusus premium masih sama. Peraturan ini ditetapkan pada 2012 lalu melalui Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam perihal pemisahan HS baru bisa dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun sekali. Kemudian ketika dibuat harus pula dibentuk komitenya. Sehingga tidak bisa secara tiba-tiba memisahkan kode HS begitu saja. Namun hal ini akan dikoordinasikan dengan Kemenkeu.
“Kemendag akan mengajukan sistem tersebut berdasarkan saran yang diberikan BPK untuk membenahinya,” ujarnya.
Permasalahan kedua terletak pada surveyor. Pemerintah diharapkan bisa membayar sendiri surveyor agar tidak terjadi kerancuan. Dalam hal ini berkaitan pula dengan Peraturan Menteri Perdagangan sehingga harus dilakukan perbaikan. Tetapi untuk menjaga surveyor independen, Kemendag tentu harus mengajukan dananya pada Kemenkeu. Luthfi mengatakan, dalam hal ini biaya harus melalui APBN, sehingga tidak bisa diputuskan sepihak oleh Kemendag.
Permasalahan lain yang disarankan BPK berkaitan dengan peraturan impor. Ada baiknya Kemendag lebih memperketat, baik jumlah atau peraturan yang berkaitan dengan impor. “Ini yang akan saya bereskan dalam kesempatan pertama," janji Lutfi.
Ia mengatakan, persoalan memperketat importir segera rampung dalam pekan ini. Dalam persoalan importir, Kemendag tidak merasa perlu berkoordinasi dengan kementerian lain. Sedangkan terkait 2 permasalahan lain, Kemendag masih perlu melakukan pembicaraan dengan pihak terkait.
Sudah Selesai, Sebelum Mau Dipersalahkan
Sebelum Luthfi membuat pernyatan bersalah diatas, pada Kamis, 20 Februrai 2014, tiga instansi pemerintah, yaitu Kementerian Perdagangan (Kemendag),Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Dirjen Bea Cukai memberikan keterangan pers secara bersama dengan mengambil tempat di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di Jakarta Timur.
Pada keterangan pers atas kasus impor beras Vietnam yang mendapat perhatian serius dari masyarakat, ketiga instansi pemerintah tersebut hanya diwakili oleh pejabat eselon I saja. Padahal, atas kasus ini, sebelumnya beragam pernyataan,penegasan, dan komitmen dilakukan oleh Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, bahkan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tidak ketinggalan anggota DPR tampil berkomentar.
Dari Kemendag, tampil Bachrul Chairi , Dirjen Perdagangan Luar Negeri, lantas Sony Loho, Plh Dirjen Bea Cukai dan Susiwijono Moegiarso,Direktur Penerimaan dan Peraturan Bea Cukai tampil mewakili Kemenkeu. Sementara Yusni Emilia Harahap, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian mewakili Kementerian Pertanian.
Intinya, dalam keterangan pers tersebut, ketiga pejabat dari tiga kementerian tersebut, sepakat mengatakan bahwa kasus beras impor yang menghebohkan itu telah selesai dan ditutup.
“Kesimpulan ini didapat setelah melakukan penelitian oleh para pakar dalam beberapa tahapan. Sampel beras yang diteliti adalah beras yang dijual di pasar Induk Cipinang Jakarta,” kata Bachrul Chairi.
Kemudian, Sony Loho pun mengatakan, tidak ada lagi permasalahan soal beras asal Vietnam di pasar Cipinang. Sementara Susiwijono Moegiarso menjelaskan, data impor yang sebelumnya disampaikan adalah benar. "Jadi artinya persoalan ini selesai," katanya.
Dan Yusni Emilia Harahap pun mengatakan: “Impor beras itu memang diberikan izin karena peruntukan bukan untuk masyarakat luas. Kita memberikan kesempatan konsumsi khusus segmen tertentu," katanya.
Siapa Yang Berbuat Salah?
Nah, bila menyimak pernyataan ke-empat pejabat yang mewakili tiga instansi pemerintah itu, kita hanya bisa terdiam sembari bengong dan bertanya: Yang selesai itu apanya? Yang ditutup itu apanya?
Wajar dan sangat sah rasanya, dibenak publik muncul pertanyaan yang demikian. Bukan apa-apa. Sebab pada Rabu, 29 Januari 2014, ketika kasus impor ini menghangat di ruang publik, Menteri Pertanian Suswono meminta kasus ini diusut tuntas. “Saya minta diusut tuntas, agar diketahui siapa di balik impor beras ilegal itu.”
Jadi, bila merujuk materi penjelasan ketiga pejabat Eselon I dari tiga kementerian diatas, tentu sangat tidak relevan dan tidak menjawab apa yang sudah ditegaskan Suswono. Apalagi Menteri Pertanian juga menyatakan Kementeriannya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi impor beras khusus asal Vietnam pada tahun 2013. Bahkan Kementan mengirimkan surat kepada Menteri Perdagangan guna meminta klarifikasi mengapa ada beras impor asal Vietnam yang masuk ke pasar.
Menteri Pertanian hanya mengeluarkan rekomendasi impor untuk beras jenis khusus yang peredarannya tertutup, tidak bebas. Beras jenis khusus ini adalah beras ketan, menir, beras untuk penderita diabetes, dan beras kebutuhan restoran tertentu.
Kian tidak relevan, manakala disimak pernyataan yang dikeluarkan Susiwijono Moegiarso sebelumnya. Tepatnya pada Selasa, 28 Januari 2014.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyatakan, kisruh beras impor salah satunya disebabkan karena kode barang impor antara beras khusus dan beras umum sama, meskipun jenisnya berbeda.
"(Ini) disebabkan karena kode HS antara beras khusus dan beras umum pada BTKI 2012 dimasukkan ke dalam satu kode HS yang sama, yaitu 1006.30.99.00," kata Susiwijono Moegiarso.
Lantas Susiwijono meminta masing-masing instansi terkait harus segera mendalami secara intensif adanya dugaan kebocoran beras tersebut.
Susiwijono pun membeberkan data impor yang ada di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Tercatat ada 58 perusahaan importir selain Bulog yang mengimpor beras selama 2013 melalui Tanjung Priok dan Belawan dengan kode HS.
Sebanyak 16.900 ton beras impor itu telah dilengkapi dengan SPI dan laporan surveyor (LS). Secara teknis, importasi beras dimasukkan dalam komoditas berisiko rendah (low risk) lantaran sudah diperiksa di negara asal barang.
Kemudian, setelah heboh maraknya beras impor di Pasar Induk Cipinang berharga murah, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memasukkan kode import beras Premium tersebut kedalam kategori beresiko tinggi dan melakukan perubahan terhadap kebijakan pengawasan, semula masuk dalam sistem Portal Indonesia National Single Window (INSW) secara elektronik, diubah menjadi sistem manual dengan petugas analisis.
Hasilnya, Bea Cukai mendeteksi ada 32 peti kemas berisi 800 ton beras impor kualitas rendah yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Masing-masing diimpor oleh CV.KFI sebanyak 400 ton, CV.PS sebanyak 200 ton, dan PT.TML sebanyak 200 ton.
Beras tersebut diimpor dengan menggunakan izin beras khusus, Thai Hom Mali yang berasal dari Thailand, bukan dari Vietnam.
Keseluruhan impor beras dengan Kode HS dimaksud telah dilengkapi dengan Laporan Surveyor (total sebanyak 83 Dokumen PIB dan 83 Laporan Surveyor) yang telah diterbitkan dan dikirimkan oleh Kementerian Perdagangan melalui Portal INSW.
Impor beras tersebut juga telah dilengkapi dengan perizinan yang diperlukan berupa SPI (Surat Persetujuan Impor) dari Kementerian Perdagangan walaupun perizinan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.06/ M-DAG/PER/2/2012.
Dari keterangan Suswono dan Susiwijono, sangat terang terlihat, bahwa ada pemberian izin impor yang tidak direkomendasikan. Kemudian ada pelanggaran pemberian SPI (Surat Persetujuan Impor) yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan No.06/ M-DAG/PER/2/2012.
Bukan sebuah rahasia dan sudah jadi pengetahuan umum, bila dalam kasus-kasus seperti ini ada permainan tangan-tangan yang meraup keuntungan. Dari dua dugaan pelanggaran diatas, tentu saja bisa berimplikasi pada hilangnya uang negara. Bisa jadi, masuknya bukan ke pos pendapatan negara, namun dugaan kuatnya masuk ke pos pendapatan oknum-oknum tertentu yang tentu saja memiliki kekuasaan untuk itu.
Apalagi, pada Jumat 31 Janurai 2014, dengan tanggap Bachrul Chairi menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan pengerucutan terhadap 165 importir beras yang diduga melanggar izin impor terkait masuknya beras ilegal dari Vietnam.
"Kita sudah mengerucutkan dari 165 importir, sekarang mengerucut jadi tiga. Yang dua itu kemungkinan salah pemahaman, sementara yang satu kemungkinan izinnya dipakai pihak lain. Tapi tiga ini belum final, kemungkinan bisa nambah jadi empat atau lima," ungkap Bachrul kepada wartawan di Gedung Kementerian Perdagangan.
Konkritnya: Apakah dibenarkan, beras yang diajukan dalam rekomendasi berbeda dengan yang terdapat dalam Surat Persetujuan Impor (SPI). Lantas, apakah dibenarkan, SPI dikeluarkan tanpa rekomendasi dari Kementan?
“Mestinya Kemendag mengeluarkan SPI sesuai rekomendasi, tanpa memberikan tambahan kalimat apapun. Dari situ saja sudah ada celah," ujar Suswono, Menteri Pertanian kepada wartawan di Jakarta, Senin (17/02).
Berkaca Pada Kasus Dimasa Lalu
Tampaknya, pengakuan "bersalah" yang disampaikan Lutfhi, seiring dengan temuan sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disampaikan pada tanggal 4 Februari 2014. Dimana ditemukan tiga indikasi kejanggalan di balik kebijakan impor beras.
"Mengapa Bea Cukai HS (harmonized system/HS)-nya langsung dinyatakan low risk (LR) dan tidak high risk (HR)," ujar Hadi Purnomo, Kepala BPK kepada wartawan di Denpasar, Selasa (04/02).
Kedua, kata Hadi, adanya penyatuan hak dari dua peraturan yang berbeda. Perbedaan peraturan tersebut berada di Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Tahun 2008 dan Permendag Tahun 2012. "Yang mana ada penyatuan hak, kok bunyinya ada perbedaan jenis beras, tapi kok HS-nya jadi satu."
Ketiga, adanya ketidak transparan surveyor luar negeri yang ditunjuk pemerintah. Itu terlihat dari tidak dicantumkannya segala hal yang berkaitan dengan impor beras Vietnam tersebut dengan detail. "Mengapa surveyor yang kita bayar di luar negeri oleh pemerintah tidak dicantumkan perinciannya,” ungkap Hadi.
Pertanyaannya kemudian, bila menyimak semua fakta dan data yang disampaikan para pejabat diatas, setidaknya memang telah terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam kasus impor beras kali ini. Mengapa belum ada aparat penegak hukum yang aktif bertindak untuk menangani kasus ini? Apakah karena saling "sibuk" menghadapi adanya agenda perubahan politik tanggal 9 April 2014 ini? Entahlah.
Sikap heroik Lutfhi yang bersedia kementeriannya dipersalahkan, tentu sah-sah saja. Namun, bukan berarti bila diketemukan adanya tindak pidana didalam kasus ini terus bisa dikesampingkan begitu saja.
Publik wajar menjadi gamang. Sebab, kasus impor beras, bukan hanya kali ini saja terjadi. Beberapa waktu yang lalu juga terjadi kasus impor beras asal Vietnam yang terpenggal-penggal. Kejaksaan Agung dan Mabes Polri yang menangani kasus ini.
Publik mencatat, ketika itu, Kejaksaan Agung, Kamis (27/07) memeriksa anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), Setya Novanto dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam impor 60.000 ton beras dari Vietnam.
Setya Novanto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur PT Hexatama Finindo, Gordianus Setio Lelono yang merupakan saudara kandungnya.
"Keinginan saya, supaya pemeriksaan impor beras 60 ribu ton itu menjadi terang," ujar Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus).
Ia menjelaskan, posisi Setya dalam kasus impor beras masih sebagai saksi, tapi ia menolak menjelaskan lebih pasti soal keterkaitan Setya dalam perkara yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 25,4 miliar itu. "Ya, lihat di pengadilan," kata dia.
Dalam perkara dugaan korupsi impor beras tersebut, penyidik Kejagung sudah menetapkan tujuh tersangka, yaitu pihak swasta pengimpor beras, Dirut PT Hexatama Finindo, Gordianus Setio Lelono dan enam lainnya pihak pegawai pemerintah dari Ditjen Bea Cukai.
Perkara atas lima tersangka, yaitu Sumantri, Athan Carina, Wahyono Herwanto, Yamiral Azis Santoso, dan Shinta Dewi Arini (mantan pejabat dan staf Bea Cukai Priok) saat ini sedang diperiksa di PN Jakarta Utara.
Sedangkan perkara untuk tersangka mantan pejabat Bea Cukai Sofyan Permana dan Gordianus, masih disidik oleh penyidik Kejagung.
Setya Novanto, yang diperiksa selama 10 jam sebagai saksi keluar dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung, sekitar pukul 19.30 Wib. Didampingi Penasihat Hukumnya, Yuliono. Setya Novanto membantah pertanyaan wartawan bahwa dirinya memberi rekomendasi impor beras tersebut.
Penasihat Hukum Setya Novanto, Yuliono menjelaskan kepada wartawan kliennya ditanyai oleh penyidik dengan 30 pertanyaan terkait impor beras illegal atas tersangka Sofyan Permana. Pada intinya, Setya Novanto menjelaskan bahwa kedudukannya selaku pemberi jaminan pribadi dalam penerbitan L/C yang merupakan jaminan tambahan, kata Yuliono.
Dalam kasus ini, selain Setya Novanto, nama Idrus Marham juga ikut terseret. Menurut salah satu kuasa hukum Inkud, Handika Hanggowongso, Idrus menjadi saksi dalam tandatangan perjanjian kerjasama antara pihak Inkud dengan PT Hexatama Finindo.
Nama lain yang disebut ikut melihat penandatangan perjanjian adalah Nurdin Halid, dan Acmad Soebadio Lamo.
Seperti diketahui, Inkud melaporkan Komisaris utama PT Hexatama Finindo, Setya Novanto, dan Direktur utamanya, Gordianus Setyo Lelono ke Mabes Polri, beberapa hari lalu.
Pada Februari 2003 sampai Desember 2003, keduanya dengan sengaja memindahkan 60 ribu ton beras, yang diimpor Inkud dari gudang pabean ke gudang non-pabean.
Setelah itu, keduanya dikatakan menjual beras impor tersebut kepada pihak ketiga. Dari hasil penjualannya ditampung ke rekening Giro Escrow milik PT Hexatama Finindo di sebuah bank milik pemerintah.
Nah, belakangan Kejaksaan Agung memutuskan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 perkara dugaan korupsi dalam impor beras ilegal dengan tersangka Gordianus Setio Lelono, Direktur PT Hexatama Finindo.
Keputusan itu diambil karena tidak cukup bukti bagi penyidik untuk mengajukan Gordianus sebagai pihak yang terlibat dalam perkara dugaan korupsi itu.
"Dia juga tidak tahu perbuatan korupsi itu," kata Kemas Yahya Rahman, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang menggantikan Hendarman Supandji, Selasa (15/1).
Sofjan Permana dan Gordianus Setio Lelono ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dalam impor beras ilegal 60.000 ton dari Vietnam sejak tahun 2006. Beras tersebut diimpor Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) bersama PT Hexatama Finindo. Dugaan korupsi terjadi karena beras dikeluarkan dari kawasan pabean tanpa prosedur yang sesuai serta tidak menyetorkan bea masuk dan pajak lainnya.
Kemas menolak menyebutkan bukti yang tidak cukup dalam perkara Gordianus. Namun, menurut dia, dalam impor beras tersebut, Gordianus hanya bertindak sebagai penjamin, tidak melakukan perbuatan korupsi yang disangkakan.
Kemas menyampaikan, keputusan menghentikan penyidikan atas Gordianus dilakukan setelah penyidik melakukan gelar perkara, dengan mengacu pada putusan kasasi Mahkamah Agung yang menolak kasasi Ketua Inkud Nurdin Halid dalam perkara yang sama.
"Tidak ada desakan dari pihak lain. Penghentian penyidikan murni keputusan penyidik karena tidak dipenuhinya bukti- bukti korupsi," kata Kemas.
Dalam perkara korupsi impor beras ilegal dari Vietnam, Nurdin Halid dihukum 2,5 tahun penjara setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada tahun 2006.
Pada kasus ini, ada pendapat yang digambarkan jernih dan menarik untuk kembali disimak. Adalah Noor Johan Nuh, Pengamat Kepabeanan yang merilis dalam situs pribadi http://c-tinemu.blogspot.com/2006/06/impor-beras-membawa-bencana.html
Impor beras sebanyak 60.000 ton yang melibatkan elite politik kasusnya terus bergulir. Cukup menarik bila kita menyimak proses hukum terhadap kasus yang melibatkan tokoh elite politik dan para mantan pejabat Bea Cukai (BC).
Seperti diketahui, setelah hampir delapan bulan tertunda, kasus yang melibatkan Sumantri (Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai Tipe A khusus Tanjung Priok I), Athan Carina (Kasi Pencegahan dan Penyidikan/P2), serta Sinta Dewi Arini (Kasi Tempat Penimbunan II), digulirkan di pengadilan pada 7 Juni lalu. Ketiganya diancam pidana seumur hidup.
Sebelumnya, pada 1 Juni, dua pejabat Bea Cukai lainnya, yaitu Wahyono Herwanto (mantan Kepala Kantor yang menggantikan Sumantri) dan Yamirizal Aziz Santoso (Kasi P2 menggantikan Athan), telah didakwa Tim Jaksa dan diancam 20 tahun penjara dan denda sebesar-besarnya Rp 1 miliar.
Kelima mantan pejabat Bea Cukai itu dituduh terlibat impor beras 60.000 ton yang dilakukan Induk Koperasi Unit Desa (Inkud), dan untuk merealisasi impor tersebut menggandeng PT Hexatama Finindo sebagai pendana.
Yang menarik ternyata Direktur Inkud, Nurdin Halid yang juga kader Golkar dan menjadi anggota DPR, dan Direktur PT Hexatama, Gordianus Setya Lelono (saudara kandung Setya Novanto, bendahara Golkar) akhirnya tidak tersentuh hukum.
Sebenarnya, keterlambatan pengajuan perkara ke persidangan itu sendiri patut dipertanyakan, mengapa begitu lamban? Apakah karena menyangkut tokoh-tokoh elite partai besar yang tersangkut di dalamnya? Penahanan yang sampai delapan bulan merupakan penahanan sewenang-wenang.
Pemecahan persidangan menjadi dua juga mengundang pertanyaan, karena kasus yang dihadapi sama. Dilihat dari tata cara prosedur kepabeanan, sejak beras masuk ke pelabuhan Tanjung Priok hingga keluar dari gudang berikat, tidak ada keterkaitan dengan Sumantri sebagai Kepala Kantor dan Athan Carina sebagai Kepala Seksi P2.
Pada April 2003, beras asal Vietnam merapat di Tanjung Priok dan ditimbun di gudang kawasan berikat di bawah pengawasan Kantor Pelayanan Tanjung Priok I. Saat itu kepala kantornya Sumantri, dan Kepala Seksi P2 Athan Carina.
Saat itu tidak ada larangan dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan atas impor beras yang dilakukan oleh Inkud dan PT Hexatama. Baru pada Mei 2003, Memperindag Rini Soewandi mengeluarkan peraturan tata niaga impor beras.
Politisasi
Pada tengah malam buta Rini melakukan sidak dan menemukan tempat penimbunan gula milik Inkud yang disegel Bea Cukai, dan membuka segelnya (tindakan yang melanggar UU No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan). Gula itu dinyatakan ilegal, dan Ketua Inkud Nurdin Halid dan Muhammad Zein (pejabat Bea Cukai) diminta bertanggung jawab.
Ternyata di pengadilan, Nurdin Halid dibebaskan oleh hakim Pengadilan Jakarta Selatan. Sedang Muhammad Zein yang secara "logika kepabeanan" tidak ada keterkaitan dengan impor gula tersebut, terseret menjadi tersangka dan dicopot dari jabatannya di Bea Cukai. Namun, belakangan Menteri Keuangan merehabilitasi namanya dan dia kembali aktif di Bea Cukai.
Kasus "gula ilegal" ini, menurut hemat saya, hanya sebagai pertandingan antara partai merah melawan kuning. Nuansa politik sangat kental, terkonsentrasi untuk memenangi Pemilu 2004, sehingga aparat birokrat yang berkuasa pada waktu itu, dipaksa atau terpaksa, dengan segala cara menjegal atas indikasi sekecil apapun yang dapat menjadi kerikil bagi tim merah di pertandingan final.
Kasus-kasus bernuansa politis pun mulai mencuat ke permukaan. Tidak kurang dari mantan Menteri Agama dan Ketua BPPN dikandangkan, dan Laksamana Sukardi, mantan Menteri BUMN, pusing tujuh keliling menghadapi pertanyaan dari aparat di gedung bundar. Para birokrat yang ikut ombak politik waktu itu, kasusnya perlu diselesaikan secara hukum, bukan politis.
Keputusan Sumantri untuk menempatkan beras eks Vietnam di pergudangan kawasan berikat, menurut hemat saya, sudah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Terlebih untuk impor beras, Bea Cukai memberikan pelayanan khusus, karena komoditas ini menyangkut hajat hidup orang banyak, sesuai PP No 33 Tahun l996 tentang Penimbunan Berikat jo PP No 43 Tahun l997. Kep Menkeu No 349/KMK.01/l999 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai No SE-l0/BC/l998.
Sebagai ilustrasi, beras 60.000 ton setara 3.000 truk berkapasitas 20 ton. Ini tidak memadai ditimbun di pelabuhan Tanjung Priok. Karena volume barang masuk ke Tanjung Priok 1.000 - 1.500 kontener per hari.
Pada Oktober 2003 (beras masih di gudang berikat), Sumantri dimutasi ke Kantor Pusat Bea Cukai, digantikan Wahyono Herwanto. Proses pengeluaran beras pada April 2004. Proses pengeluaran beras diindikasikan ada kongkalingkong antara aparat Bea Cukai, Inkud dan PT Hexatama Finindo, dan negara dirugikan Rp 25,4 miliar.
Kerugian itu karena diduga memalsukan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) dan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) serta data pendukung lain saat Wahyono menjabat Kepala Kantor Pelayanan. Dia memiliki otoritas tunggal kewenangan dan tanggung jawab dalam lingkup tugas kepabeanan dan cukai waktu itu.
Anehnya, Sumantri yang sudah dimutasi dan tidak mempunyai kewenangan apapun dalam proses pengeluaran beras tersebut, dikaitkan dan dijadikan tersangka. Mungkinkah itu bagian dari riak-riak gelombang badai politik di 2004?
Sementara itu, Nurdin Halid dan Gordianus Setya Lelono sudah dijadikan tersangka. Pada Agustus 2005, Nurdin divonis 2,5 tahun penjara oleh pengadilan Jakarta Utara karena terbukti melanggar Tindak Pidana Kepabeanan. Anehnya, Gordianus yang telah menjadi tersangka dan semestinya bertanggung jawab atas pemalsuan dokumen impor beras itu, tidak pernah diajukan ke pengadilan dan masih bebas berkeliaran.
Mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudohusodo bahkan yakin PT Hexatama Finindo sebenarnya adalah otak di balik kasus ini.
Sesuai dengan kewenangan Bea Cukai yang diatur UU No 10 Tahun l995, atas kerugian negara yang timbul akibat impor beras ini dilakukan penyitaan atas aset Inkud dan PT Hexatama Finindo. Nilai yang disita sudah lebih dari Rp 30 miliar, berarti memadai untuk menutupi kerugian negara akibat pemalsuan dokumen kepabeanan.
Berkaca pada bebasnya Neloe cs yang mirip dengan Sumantri cs, hakim akan melihat bahwa kerugian negara telah tertalangi dari aset Inkud dan PT Hexatama Finindo dari sitaan Bea Cukai. Beberapa kasus, seperti bebasnya Nurdin Halid dalam kasus gula, pembatalan Surat Penghentian Penuntutan Perkara (SP3) Pak Harto yang dikeluarkan Jaksa Agung oleh hakim Pengadilan Jakarta Selatan, merupakan pembelajaran untuk mengasah ketajaman dakwaan, agar para jaksa lebih tajam dalam pokok perkara.
Dakwaan jaksa kepada para mantan pejabat Bea Cukai dalam kasus tindak pidana kepabeanan, yakni Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b, Ayat 3 UU No 31 Tahun l999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001, menurut hemat saya, tidak sesuai dengan azas hukum kita locus delax spesialis.
Untuk perkara tindak pidana kepabeanan telah diatur "spesial" pada UU No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Kita mendukung penuh niat pemerintah memberantas korupsi, tapi jauhkan dari konspirasi politik, tutup Noor Johan Nuh.
© Copyright 2024, All Rights Reserved