Hari ini, 23 Januari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri genap berusia 55 tahun. Dalam ulang tahunnya yang pertama sejak ia diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia ke lima, 5 Juli 2001 lalu, Megawati secara sederhana merayakannya bersama para yatim piatu, pengamen, dan anak-anak jalanan. Megawati dilahirkan di Bengkulu, 23 Januari 1947 sebagai anak kedua dari pasangan mantan Presiden RI pertama Soekarno dan Fatmawati.
Di hari ulang tahun ini, rasanya perlu untuk memberikan kado berupa penilaian terhadap sosok dan kinerja kepemimpinan Megawati sebagai Presiden RI.
Nampaknya, sebagai orang nomor satu di Indonesia, pemerintahan Megawati Soekarnoputri belum memiliki keberanian untuk sungguh-sungguh melaksanakan agenda reformasi.
Sejauh ini, pemerintahan Megawati dinilai cenderung tidak mau mengutak-atik kekuatan status quo demi memperpanjang kekuasaannya, bukannya menyelamatkan bangsa dan membereskan Indonesia dari kerusakan-kerusakan masa lalu.
Sebagai pemimpin partai, sikap tidak tegas Megawati tercermin dari ketidaktegasan Fraksi PDI Perjuangan dalam pembentukan panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kasus penyimpangan dana nonbudgeter Badan Urusan Logistik (Bulog) yang diduga melibatkan Akbar Tandjung, bisa dibaca sebagai kepentingan untuk menyelamatkan diri agar bisa terus berkuasa karena takut pada rongrongan Golkar.
Namun, dengan sikap seperti itu, Megawati telah melupakan agenda reformasi itu sendiri. Langkah seperti itu sangat disayangkan karena yang harus dilakukan oleh Megawati adalah mengoreksi kesalahan-kesalahan Orde Baru dalam soal korupsi, kolusi dan nepotisme, termasuk korupsi dalam bidang hukum.
Peneliti Senior dari LIPI Mochtar berpendapat, bila Megawati tidak sanggup memangkas kekuatan Orde Baru, tidak ada pilihan lain Megawati dituntut mengundurkan diri. Meski berhentinya Megawati di tengah jalan akan membuat situasi politik makin runyam akan tetapi bila dapat mengangkat orang yang lebih baik, hasilnya mungkin akan lebih baik. Menurut Mochtar, bila sikap kompromistis dibiarkan akan semakin besar lagi peluang Orde Baru untuk melakukan konsolidasi.
Megawati, kata Mochtar, seharusnya berupaya keras mematahkan jaring korupsi, kolusi dan nepotisme Orde Baru dengan mengadili Akbar Tandjung, Tommy, Soeharto dan kroni-kroninya. Andaikata Soeharto tidak diadili minimal hartanya disita untuk negara, bukan dibiarkan lepas begitu saja.
"Bila kompromi dengan status quo diteruskan, bukannya posisi Megawati yang diperkuat tetapi justru Orde Baru," kata Mochtar.
Menegakkan reformasi, kata Mochtar, berarti menegakkan rasionalitas politik, saling kontrol dan saling imbang (checks and balances), penegakan hukum dan bukan penyandiwaraan hukum.
Ia mengakui, ada semacam kekhawatiran dan ketakutan baik di kalangan masyarakat maupun pemerintah bahwa kekuatan lama akan bergolak apabila diganggu-gugat. Namun, kata Mochtar, apabila hal itu tidak dilakukan pengaruh Orde Baru akan makin panjang dan bahkan mungkin berkuasa kembali. Dengan melakukan kompromi politik, tidak menanggap perlu pembentukan Pansus untuk menyelidiki dana nonbudgeter Bulog, dan membiarkan kasus Akbar tergantung dengan harapan kemampuan bersaing dalam kekuasaan melemah, berarti memberikan pembenaran bahwa korupsi bisa jalan terus.
Dengan melakukan hal itu, menurut Mochtar, kabinet gotong royong yang dipimpin Megawati mengkhianati agendanya sendiri. "Makin panjang keadaan itu berlangsung, makin terperosok bangsa kita. Makin lama status quo bertahan, makin hancur kita. Indonesia akan mati pelan-pelan," kata Mochtar.
© Copyright 2024, All Rights Reserved